Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Habibie, Sang Syekh Siti Jenar yang "Manunggaling Kawulo Gusti-kan" Jiwanya pada Ainun

23 September 2019   11:48 Diperbarui: 23 September 2019   22:44 1966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tribunnews.com

"Kerajaan Tuhan ada pada diri kita," kata Catherine. Kurang lebih seperti itu. Kemudian Catherine menegaskannya, "Langdon, kita adalah Tuhan."

Kalau disimak, dalam "The Lost Symbol" ditemukan juga ajaran Syekh Siti Jenar tentang kematian. Brown dan Syekh Siti Jenar sama-sama menggambarkan kematian sebagai awal dari kehidupan abadi karena tubuh adalah penjara atau cangkang dari jiwa. Dan, setelah kematian, kita akan benar-benar menyatu dengan Tuhan.

Seperti dalam sloka Bhagawat Ghita, raga ini seperti kereta kuda ditumpangi oleh jiwa yang abadi. Jiwa adalah percikan Dewa, jiwa adalah bagian dari Dewa begitu tegas Kresna. Pada saat itu juga Sri Kresna menunjukkan ke-Mahadewa-an pada dirinya.

"Tuhan ada di sini. Di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum," dendang Ebiet G Ade dalam "Lagu untuk Kita Renungkan.

Ada bagian paling menarik pada novel "Layla Majnun". Pada suatu ketika Majnun mengunjungi pasar. Di sana ia merogoh kantongnya lalu mengambil secarik kertas bertuliskan "Layla dan Majnun". Kertas itu dirobek-robek kemudian dihamburkannya.

Seseorang bertanya kepada Majnun, "Kenapa kau lakukan itu? Bukankah pada kertas itu kau bisa bersatu dengan Layla."
Majnun menjawab, "Layla ada dalam diriku."

Demikian cintanya pada Layla, sampai Majnun merasakan keberadaan Layla dalam dirinya. Dan, karena cintanya itulah pikiran dan hati Majnun hanya tertuju pada Layla. Dari pagi hingga malam hari, ia menzikirkan nama Layla.

Begitu juga dengan cinta Habibie pada istrinya. Bagaikan Layla bagi Majnun, Ainun pun tak terpisahkan dari Habibie. Ada Ainun dalam diri Habibie. Begitu juga sebaliknya.

Setiap kali Habibie berkisah tentang Ainun, terasa bila Ainun masih hidup dalam dirinya. Menariknya, ungkapan cinta Habibie kepada Ainun itu mampu menembus sekat-sekat ruang, sehingga pemirsa yang menyaksikannya lewat televisi dapat merasakan kedalaman cinta Habibie kepada Ainun. Tak jarang kita yang menyaksikannya terharu dan meneteskan air mata, meski Habibie bercerita sembari tertawa lepas.

Bagi Habibie, Ainun adalah istri atau pasangan hidup yang sejati-jatinya garwo. Garwo adalah kata dalam bahasa Jawa yang merupakan kependekan dari sigarane nyowo atau belahan jiwa dalam bahasa Indonesia.

Ketika Ainun meninggal dunia pada 22 Mei 2010, jiwa Habibie pun terguncang hebat. Bukan karena jiwa Ainun meninggalkannya, tetapi karena separuh dari jiwa Habibie pergi bersama separuh jiwa Ainun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun