Kecuali Pak Jokowi, yang setiap saat selalu ber-Metallica! Jreng ... master, master, master of puppets I'm pulling your strings ...!
Pergeseran hidup dan matinya bisnis ini merupakan fenomena atas apa yang dinamakan disrupsi. Ingat kan dengan buku Rhenald Kasali yang berjudul "Disruption"? Buku yang diluncurkan pada Februari 2017 ini antara lain banyak mengulas fenomena disrupsi.Â
Jatuhnya incumbent bisnis oleh inovasi terkini yang dilakukan oleh "musuh yang tak terlihat", silent enemy.
Kompasianer bersyukur, bisa membaca tulisan Hilman ini sebagai bagian dari upaya memperkaya diri tentang disrupsi yang ternyata bisa saling bunuh, meski tak jarang ada juga yang justru menjadikannya sebagai alasan untuk membuka diri dan berkolaborasi usaha.
Hilman menulis:
"Inilah revolusinya. Dulu, kita bisa memiliki sebuah musik lewat kaset, CD atau MP3. Dokumen musik itu kita beli dan simpan. Padahal musik itu life cycle dan popularitasnya singkat, kita tak dengarkan terus-menerus.
Lalu, apakah konsumen merasa harus memiliki dokumen musik? Apakah kalau dokumen musik itu tidak kita beli, maka harganya bisa lebih murah? Bisakah kita hanya membeli 'waktu dengar' saja agar harganya lebih rendah? Ternyata bisa! Musik bisa jadi sesuatu yang tidak harus dimiliki.
Disrupsi, sejatinya adalah proses. Ia juga revolusi. Teorinya diperkenalkan oleh Clayton M Christensen pada 1997. Selain itu, disrupsi itu pun sama dengan inovasi, misalnya menggantikan teknologi masa lalu yang serbafisik dengan teknologi digital dan sebagainya. Pemikiran ini pun Hilman rancak sekali menuliskannya: Â
"Dilema yang tak kalah besarnya adalah: bila perusahaan mencegah merilis inovasi yang bisa mengkanibal produk dan model bisnisnya sendiri, maka hanya persoalan waktu muncul pihak lain yang melakukannya.
Pihak lain itu tak hanya kompetitor, tapi juga entitas bisnis baru di luar industri. Siapa yang menyangka bahwa konglomerasi bisnis raksasa taksi se-Indonesia terancam bangkrut oleh seorang Nadiem Makariem (founder GoJek) yang namanya tidak pernah dikenal sebelumnya dalam industri transportasi?
Siapa mengira ojek yang tak pernah diperhitungkan keberadaannya dalam kompetisi bisnis transportasi tiba-tiba bisa membuat industri taksi bernilai triliunan gonjang-ganjing?