"Apa bisa saya memperoleh sertifikasi produksi P-IRT atau Pangan Industri Rumah Tangga, kalau  industri Keripik Singkong saya ini, yang awalnya menggunakan bahan bakar gas kemudian beralih ke kayu bakar? Karena jujur saja, dengan menggunakan kayu bakar, proses menggoreng justru bisa lebih cepat dan hasilnya juga saya anggap lebih baik dibandingkan dengan pakai kompor gas."
Pertanyaan tersebut disampaikan Ma'mun, juragan Keripik Singkong asal Pengasinan, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, pada seminar "Keamanan Pangan : Penyajian Makanan Sehat dan Aman untuk Konsumen", Senin, 13 November 2017 kemarin. Acara yang diselenggarakan Antaka Community ini menghadirkan narasumber dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), juga Dinas Kesehatan Kota Bogor, serta diikuti puluhan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di wilayah sekitar.
Menjawab pertanyaan Ma'mun, narasumber dari Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM, Ratna Wulandari mengatakan, penggunaan kayu bakar pada industri panganan rumahan harus ekstra hati-hati penanganannya.
"Kayunya tidak boleh disimpan pada satu lokasi yakni di dalam dapur. Alasannya, karena kayu bisa mengundang datangnya serangga, misalnya kecoa. Bahkan seharusnya, ruang produksi panganan itu harus benar-benar free atau bebas dari perabot yang berbahan dasar dari kayu, kursi, meja dan lainnya. Penggunaan perabotan kayu di ruang produksi, sekalipun ini adalah industri skala rumahan tetap harus benar-benar diminimalkan," ujarnya.
Selain itu, lanjut Ratna, kayu bakar yang sudah tidak menyala atau tidak panas lagi, harus segera dikeluarkan dari ruang produksi, karena dikhawatirkan menimbulkan asap, bau dan percikan kotoran lainnya.
"Sebaiknya, untuk penggunaan kayu bakar, dibuatkan cerobong asap pada ruang produksi sehingga asapnya dapat segera tersalurkan keluar. Selain itu, karena hawa panas yang ditimbulkan dari kayu bakar, bukan berarti ruang produksi harus dibuka atau terbuka lebar-lebar. Tetap kisi-kisi ventilasinya harus agak rapat, dan untuk mengurangi hawa panas dibuatkan cerobong asap atau penyedot udara keluar," jelas Ratna.
Adapun peraturan yang dimaksud, misalnya:
- UU No. 18/2012 tentang Pangan.
- UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
- UU No.36/2009 tentang Kesehatan.
- UU No.20/2008 tentang UMKM.
- PP No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
- PP No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
- Permenkes tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya.
- Peraturan Kepala Badan POM tentang Pedoman Pemberian Sertifikasi Produk Pangan -- Industri Rumah Tangga (SPP -- IRT).
- Peraturan Kepala Badan POM tentang Cara Produksi Pangan yang Baik -- Industri Rumah Tangga (CPPB -- IRT).
Berbagai peraturan ini patut menjadi acuan dan perhatian serius dari para pelaku UKM termasuk yang bergerak dibidang industri pangan skala rumahan. Karena sejauh ini, isu publik yang mendominasi sepanjang 2015 misalnya, adalah terkait penyalahgunaan bahan berbahaya (42%), pangan kedaluwarsa (22%), pemalsuan (16%), keracunan pangan (5%) dan pangan ilegal (2%).
"Informasi dan pengaduan tentang pangan paling mendominasi dibandingkan dengan komoditi lain. Tren pertanyaannya adalah seputar Prosedur: pendaftaran dan sertifikasi, Legalitas: informasi produk terdaftar, dan Pengaduan Produk palsu maupun lainnya," jelas Ratna mengutip data pengaduan melalui Unit Layanan Pengadukan Konsumen (ULPK) Badan POM.