Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tatkala Kaum Cerdik Pandai Kelihatan Bodoh

12 Juli 2017   14:26 Diperbarui: 12 Juli 2017   14:38 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BAGAIKAN cendawan di musim hujan, kaum cerdik pandai nan (maaf) bodoh belakangan ini, tumbuh begitu subur. Gelagat membodohkan diri itu mulai bertunas dan tumbuh mengganas, terutama  sejak Pilkada DKI Jakarta dan setelahnya ketika kehidupan politik memanas yang ibarat terik sinar matahari.

Kelewat (maaf) bodohnya, kaum cerdik pandai itu (ada dosen, doktor dan "ulama") begitu bangga memperlihatkan kebodohannya saat diwawancarai wartawan cetak, online, dan televisi. Duh, mereka senang bukan kepalang ketika pikiran dan ucapannya dimuat dan jadi "berita" di media massa, apalagi kalau ucapannya membuat pihak lain tersinggung dan sakit hati.

Dalam suasana eforia bermedia, kaum "cerdik pandai" itu seolah tidak peduli dengan statusnya, sehingga melontarkan analisis (sekali lagi maaf) ngawur dan mengandung fitnah pun tak merasa sebagai sebuah "dosa", dan karenanya tidak perlu merasa malu, meskipun di luar sana,  banyak orang tertawa terbahak-bahak.

Ya, tertawa terbahak-bahak, lantaran anlisis dan pernyataan mereka dan telah menjadi berita itu melawan logika. Ujung-ujungnya jadi lucu banget, deh.

Si Buni Yani (BY) misalnya. Ia berpendidikan tinggi dan berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta meskipun berstatus "terpecat".  Ia kini harus berurusan dengan hukum karena melakukan ujaran kebencian via media sosial.

Gara-gara video editannya yang diunggah di Youtube, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi tersangka penistaan agama dan akhirnya dipenjara selama dua tahun. BY pun berkoar-koar bahwa ia telah berjasa memenjarakan Ahok dan karenanya ia layak dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan.

Namun, kasusnya jalan terus. Kabar terbaru, BY sebagaimana diberitakan viva.co.id (Selasa 11 Juli) menuding Partai NasDem di balik kasus hukum yang menimpanya. Sang "dosen" yang sudah diberhentikan ini bersuuzon bahwa Jaksa Agung Prasetyo-lah yang minta kasusnya diteruskan. Tanpa nalar seorang "akademisi", BY berdalih Prasetyo adalah anggota Partai NasDem. BY tentunya tak mau tahu dengan aturan dan etika di partai ini bahwa sejak Prasetyo dipercaya Jokowi sebagai jaksa agung, keanggotaan Prasetyo di partai pengusung restorasi itu otomatis gugur.

Yang lebih menarik (lucu?), ibarat menulis skripsi atau tesis, BY membuat kesimpulan bahwa NasDem berada  di balik pelanjutan kasusnya karena partai ini mencalonkan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Setali tiga uang dengan BY,  beberapa hari lalu, Ferry Juliantono juga  menyampaikan "analisis" politik ala BY.  Ferry seorang doktor. Kebetulan ia kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.

Uniknya, Hary Tanoesoedibjo (HT) yang punya perkara hukum (kasus ancaman ke seorang jaksa lewat SMS dan kasus Mobile-8) -- kini HT berstatus sebagai tersangka --, Ferry yang merasakan "sakitnya tuh di sini".

Sebagaimana diberitakan Okezone (Kamis 29 Juni), Ferry mengatakan "kriminalisasi" terhadap HT tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ia minta agar Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak menggunakan cara-cara norak untuk menyingkirkan orang-orang yang berbeda pendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun