Kurikulum Merdeka merupakan program yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak tahun 2022 lalu. Saat ini, Kurikulum Merdeka sudah diadopsi oleh 300 ribu lebih satuan pendidikan di seluruh Indonesia yang memilih untuk menerapkan Kurikulum Merdeka, dimana dalam penyelenggaraannya, kurikulum ini masih bersifat opsional serta menyesuaikan dengan kemampuan dan kesiapan masing-masing daerah dalam melaksanakan kurikulum ini, hal tersebut dikarenakan masih dalam fase transisi dari Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka, yang kemudian akan diproyeksikan menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024 mendatang.
Hadirnya Kurikulum Merdeka ini merupakan langkah kebijakan pemerintah dalam memperbaiki sistem pendidikan kita. Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan lugas menyampaikan bahwa Kurikulum Merdeka merupakan proyeksi serta sumbangsih pemerintah dalam mengupayakan tujuan utama dalam merdeka belajar, yaitu mendorong perbaikan kualitas dan pemulihan dari krisis pembelajaran.
Sistem pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka ini terdengar menjadi sangat menarik dikarenakan kali ini peserta didik ditempatkan sebagai subjek utama dalam konsep pembelajaran. Penerapannya lebih mengedepankan pada pendekatan kontekstual yang mendorong para peserta didik dapat mengeksplorasi pemahamannya lebih dalam. Faktor ini dapat mendukung peserta didik untuk dapat lebih mandiri, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Dalam hal ini, guru memiliki peran sebagai fasilitator guna mendukung keberlangsungan konsep pembelajaran sebagai pemberi akses kepada peserta didik untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, apa faktor tujuan diadakannya Kurikulum Merdeka ini dalam meningkatkan mutu pendidikan Indonesia?
Skema Kurikulum Pendidikan Sebelumnya Tidak Tepat Sasaran
Skema Kurikulum 2013 lebih mengedepankan pada pemaparan teori dan sistem pembelajaran yang mewajibkan peserta didik untuk memahami seluruh mata pelajaran yang diberikan, dapat dikatakan kurikulum ini memberikan modul teori yang terlalu luas yang membuat peserta didik kebingungan untuk menguasai bahan ajar yang diberikan.
Beragam perkara tersebut membuat peserta didik kesulitan dalam menguasai setiap materi yang diberikan, seakan hanya sekadar teori yang lewat begitu saja tanpa adanya pemahaman inheren yang berdampak pada peserta didik. Sehingga hal ini berimplikasi pada kurangnya pemahaman peserta didik dalam memahami bacaan dan menulis, bahkan dalam skala dasar.
Jika melihat rekam jejak indikator pendidikan di Indonesia sejak masa lampau, menurut data dari Badan Pusat Statistik pada Indikator Pendidikan, sejak tahun 1994 hingga saat ini, angka partisipasi sekolah pada rentang usia 13-15 tahun terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pasalnya, angka partisipasi yang sebelumnya adalah 72,39 persen pada tahun 1994, kini terus meningkat hingga menyentuh angka 95,81 persen pada tahun 2022.
Sayangnya, angka tersebut bukan menjadi indikator kesuksesan pemerintah kita dalam menangani pendidikan di Indonesia. Alih-alih meraih hasil yang memuaskan, justru kebijakan kurikulum yang diterapkan pada masa sebelumnya membuat peserta didik kesulitan dalam menerima materi pelajaran yang terlalu banyak, seakan guru hanya diperalat sebagai orang yang menyampaikan materi pada kurikulum tanpa adanya pendekatan emosional antara guru dengan peserta didik.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Programmme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012 lalu, ironisnya, Indonesia menduduki peringkat paling bawah diantara 65 negara lainnya dalam pemetaan kemampuan matematika, pemahaman membaca dan sains. Survei PISA-OECD yang dilakukan dengan metode kualitatif ini melibatkan responden 510 ribu pelajar berusia 15-16 tahun dari 65 negara dunia yang mewakili populasi 28 juta siswa berusia 15-16 tahun di dunia serta 80 persen ekonomi global.