Mohon tunggu...
Galang Ksatria Bella
Galang Ksatria Bella Mohon Tunggu... Auditor - penulis lepas

Penulis pernah berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Kini, penulis adalah pengurus Majelis Kalam Ikaran Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya, Aktivis HIPMI Surabaya, dan Pegiat HMI Cabang Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemerintah, Seharusnya Perajut Sintesa

7 April 2018   19:25 Diperbarui: 7 April 2018   20:06 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polemik seputar Islam dan Negara semakin muncul di ruang diskursus politik. Kemajuan teknologi informasi, kemudian menjadi stimulan bahwa diskursus politik merupakan bagian dari diskursus publik. Dampaknya, konstelasi partai politik terbelah menjadi tiga. Ada partai politik yang memilih menggunakan narasi Islam, serta ada yang menggunakan narasi Pancasila. Sisanya, mereka memilih netral sambil menunggu saat tepat untuk membentuk poros ketiga.

Keterbelahan ini nyaris hingga tataran masyarakat. Jika sudah begitu, tentu Indonesia dalam keadaan genting. Tidak saja, persatuan dan kesatuan yang dipertaruhkan. Lebih jauh, ambisi setiap narasi suci yakni Islam dan Pancasila, kemudian menjadi kendaraan politik untuk memperoleh kemenangan mutlak. Narasi tentang siapa yang benar ini, akan tumbuh subur dalam konteks politik dan tak mungkin terbendung. Karena pada hakikatnya politic is truth, politik adalah kebenaran. Dan setiap pihak butuh narasi kebenaran, untuk memenangkan kontestasi politik.

Alih-alih menjadi penengah, elit pemerintahan justru cenderung bergairah untuk memainkan salah satu dari dua narasi yang ada. Dalam konteks sempit sebagai usaha mempertahankan kekuasaan, itu tak masalah. Tapi dalam konteks yang lebar dan dampak jangka panjangnya, justru keberpihakan pemerintah dan upaya untuk mendorong narasi Islam ke ranah privat melalui kebijakan, akan memukul balik kekuasaan.

Ibaratnya, seorang pejabat publik begitu bergairah menggunakan jargon "Saya Pancasila". Tidak lama kemudian, ia tersandung kasus korupsi. Ia kemudian ditetapkan sebagai terdakwa. Konsekuensinya, bukan hanya masyarakat awam mencerca figur elit tersebut. Tapi pada derajat tertentu, Pancasila kehilangan kesucian. Sebagaimana, seorang oknum pendakwah menggunakan narasi kitab suci, kemudian oknum itu tersandung perilaku tercela. Tidak saja figur pendakwah ini yang tercoreng, namun kesucian dari sebuah kitab, kemudian dipertanyakan.

Dari dua kemungkinan diatas, kasus pertama yang lebih mengkhawatirkan. Pertama, konsekuensi mereka yang menjabat terhadap kans untuk mereka terlibat kasus korupsi, begitu terbuka. Kedua, kecenderungan elit penguasa memainkan narasi Pancasila hanya dalam konteks jargon dan retorika, begitu kentara. Ketiga, elit penguasa pernah sekali menggunakan instrumen kekuasaan, untuk menggebuk salah satu pabrik (ormas) narasi Islam, hingga bangkrut. Jika tidak hati-hati, munculnya narasi Islam untuk menjadi dasar negara yang ideal sebagai alternatif atas krisis multidimensional, bukan mustahil.

Elit pemerintahan memang kebanyakan berangkat dari partai politik. Meski demikian, ketika menjadi pejabat publik seharusnya memainkan ritme aman. Ini bukan perkara the winner take all, atau kepentingan sesaat untuk terpilih lagi. Atau dalam konteks individu, bukan perkara rumus politik kontemporer; money for power, power for more money, dan more money for more power. Tapi lebih jauh ini perkara keutuhan bangsa dan negara. Untuk semua itu, para elit rasanya harus belajar dari sejarah.

Sederhananya, instansi pemerintah yang berkepentingan dengan keutuhan dan keamanan nasional, cukup membuka ruang diskursus. Dalam logika thesis-anti thesis, pemerintah seharusnya menjadi seorang penyimpul yang merajut sintesis. Yang menjadi problem dewasa ini, negara ini tidak memiliki aktor yang berfungsi menjadi sintesis. Padahal, jika kita ingat betul, suasana negara vis a vis Islam, adalah momen yang tepat untuk menghasilkan obat sintesa yang aktual untuk mengatasi segala kesakitan bangsa selama ini.

Soekarno menyesal, Soekarno meminta maaf. Barangkali petikan sejarah sewaktu ia berwasiat agar kelak jenasahnya dishalatkan oleh seorang Buya Hamka adalah pelajaran besar bagi negeri ini. Siapapun penguasa di negeri ini, bahkan seorang founding father hingga penguasa dari kalangan Islam taat sekalipun, tidak lepas dari daya kritis keumatan. Meski dalam konteks ini, kita pahami bahwa tidak ada yang bisa menyatukan negeri ini kecuali Islam, dan tidak ada yang dapat memecah belah kecuali Islam.

Ajaran tauhid, dimana setiap manusia diberi kemerdekaan dan tidak tunduk pada siapapun kecuali Allah, adalah inti narasi Islam. Tak perlu diceramahi, tak perlu dipaksa, bahkan tak diberi senjata pun, ia akan melawan karena jiwanya telah dimerdekakan oleh tauhid. Orang-orang yang menggunakan narasi Islam dalam konteks politik, ibaratnya adalah anak-anak kritis, meski mungkin anak nakal di mata penguasa. 

Tapi bagaimanapun, penguasa harus lebih cerdas bukan malah menggebuk sebagaimana Ibu menggebuk anaknya. Besar sedikit saja anak itu, kemungkinan untuk berani pada Ibunya bukan barang mustahil. Siapa yang salah? Tentu orang tua yang disalahkan atas didikan terhadap anaknya itu.

 Orang tua yang cerdas bisa melihat potensi besar anaknya, lalu memberikan ruang. Atau lebih mudah dari itu, orang tua memberi suri tauladan yang baik. Itu artinya, penguasa jangan lupa daratan dan ingin terus berkuasa secara absolut. Dan sampai saat ini, rumusan bagaimana menjadi orang tua yang baik belum ada bahkan sekedar sebagai wacana saja. Ironis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun