Mohon tunggu...
gagas hafidan
gagas hafidan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMM

Mahasiswa UMM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Hukum Internet Indonesia yang Bermasalah akan Menghambat Kebebasan Berekspresi?

21 Juni 2021   16:26 Diperbarui: 21 Juni 2021   17:17 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dipandang dapat menjadi bumerang bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia. Penyelesaian sengketa juga dapat diselesaiakan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase. Setidaknya akan ada sembilan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU ITE, sehingga UU ini dapat berjalan dengan efektif.

Implementasi kebijakan publik diharapkan dapat berperan besar kepada pengembangan internet di Indonesia sehingga dapat direalisasikan dengan sebaik baiknya. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah yaitu Ius Konstituendum, yang memiliki pengertian secara umum yaitu Undang-Undang yang diharapkan sebagai perangkat hukum yang mengakomodir tuntutan perkembangan teknologi serta antisipasi terhadap permasalahan-permasalahan yang bisa ditimbulkan, termasuk dampak negatif penyalah gunaan Internet dengan berbagai alasan yang dapat menimbulkan korban baik itu kerugian materi mapun non materi.

Mereka yang berada dan mengakses pemberitaan di Indonesia pasti sudah mendengar nama Florence Sihombing, warga negara Indonesia di Jogjakarta. Dia terlibat dalam kasus yang sangat disengketakan yang melibatkan UU ITE (peraturan tentang informasi dan transaksi elektronik) di Indonesia. Undang-undang -- yang ditetapkan pada tahun 2008 -- mengatur percakapan warga negara secara online, dan memungkinkan siapa pun menuntut siapa pun karena membuat mereka "merasa tersinggung".

Indonesia adalah negara demokrasi dengan amandemen konstitusi yang menjamin kebebasan berekspresi. Namun keberadaan UU ITE bertentangan dengan amandemen tersebut.

Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara, sebuah gerakan yang mempromosikan kebebasan berpendapat di kawasan ini, mengikuti isu seputar regulasi ITE di Indonesia. Sementara mereka percaya itu diperlukan untuk mengatur dunia online, hukum memiliki beberapa celah untuk diperbaiki.

1. Tidak jelas apakah pelanggaran peraturan ITE harus masuk dalam hukum perdata atau pidana.

Karena pencemaran nama baik bisa menjadi sengketa perdata dan pidana di Indonesia, pemerintah perlu membuat garis yang lebih jelas. Australia, misalnya,aturan bahwa setiap kasus pencemaran nama baik yang merugikan seseorang harus dianggap sebagai pelanggaran perdata. Apabila peristiwa tersebut berdampak pada masyarakat, seperti membahayakan ketentraman umum, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Karena parameternya belum jelas di Indonesia, maka ada beberapa peristiwa kecil yang seharusnya berujung pada sengketa perdata, bukan di pengadilan pidana. Salah satunya adalah insiden tahun 2010 yang melibatkan dua siswa SMA yang saling berbicara sampah di Facebook. Pada akhirnya salah satu dari mereka mengajukan gugatan, dan berhasi lmembuat siswa lain dihukum sebagai "penjahat". Yang terakhir didakwa dengan dua bulan dan 15 hari penjara, tetapi bisa lolos dari hukuman penjara selama dia tidak melanggar hukum apa pun selama lima bulan.

2. Penegak hukum mungkin tidak sepenuhnya memahami praktik terbaik dalam menangani kasus pencemaran nama baik secara online.

Ada kasus Donny Iswandono, wartawan yangdibebankandi bawah UU ITE karena pasal- pasalnya tentang korupsi di Kabupaten Nias Selatan. Iswandono mengaku telah mengikuti best practice jurnalistik dengan meminta komentar bupati sebelum menerbitkan artikel tersebut, namun diabaikan. Indonesia Corruption Watch menilai polisi seharusnya memprioritaskan penyidikan kasus korupsi bupati ketimbang tuduhan pencemaran nama baik Iswandono.

Koordinator wilayah SafeNet Voice Damar Juniarto mencontohkan kasus Benny Handoko yang dinyatakan bersalah melakukan pencemaran nama baik melalui cuitannya. Juniarto mengatakan hakim tidak mengikuti protokol yang biasa mengevaluasi bukti forensik digital yang diperlukan untuk menetapkan "niat" dalam mencemarkan nama baik orang tersebut. Untuk menunjukkan niat, pelaku harus ditunjukkan untuk mencemarkan nama baik seseorang lebih dari satu kali. Hakim hanya menolak banding forensik digital oleh pengacara pembela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun