Kembali ke cerita PKL. Sebelum ke TK itu, saya memperkenalkan diri lewat email kepada kepala TK karena waktu telepon nggak ada yang angkat. Nggak disangka, kepala TK menelpon balik dan meminta saya untuk datang keesokan harinya, lengkap dengan membawa dokumen yang sudah saya kirim online. Saya ceritakan padanya bahwa setahun yang lalu saya sudah pernah melamar lewat kantor pusat tapi tidak diterima karena sertifikat belum diakui Jerman dan hanya diterjemahkan dan diketahui kedutaan Jerman di Jakarta saja.
Kesan Pertama Begitu Menggoda
Kalimat itu sering terngiang di telinga saya. Gara-garanya iklan deo yang mempesona. Dan itu terjadi pada saat saya datang ke taman kanak-kanak yang saya tuju.
Meski awalnya sudah telat 5 menit padahal saya sudah ekstra setengah jam sebelumnya berangkat dari rumah, yang artinya sebenarnya masih sisa 15 menit untuk menunggu di lobi. Di Jerman, terlambat itu pamali. Orang lebih suka datang lebih awal daripada terlambat. Sayangnya, saya yang salah sangka. Alamat TK nggak mudah ditemukan karena tidak ada di catatan navigasi. Daerah baru, belum masuk up date!
Untung saya segera menelpon kantor pusat di kota Muenchen. Operator memandu saya sampai depan TK. Yak, ketemu!
Di depan pintu utama, saya harus memencet tombol tempat tujuan. Karena bukan kelas-kelas TK yang akan saya kunjungi, saya tekan tulisan sekretariat. Seorang wanita berambut hitam nan panjang begitu energik membuka pintu. Ternyata beliau adalah kepala TK.
Ia mempersilakan saya untuk masuk dan duduk di kantornya. Ramah dan baik sekali. Ah, betul juga, ia orang Brasil yang besar di Jerman. Setelah sedikit perkenalan, ia mengantar saya dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Ruang A untuk ganti popok, ruang B untuk masak, ruang C untuk guru-guru, ruang D untuk anak-anak umur 1-3 tahun, ruang E untuk anak-anak umur 3-6 tahun. Eh, bukankah saya belum teken kontrak?
Tak terasa sudah sejam saya di sana. Ia menanyakan kapan saya siap. Langsung saya jawab mantap kapan, dengan syarat saya hanya setengah hari karena separoh hari lainnya harus mengajar lansia.
"Kita belum pernah ketemu, tapi begitu saya buka pintu tadi, saya tahu saya suka Anda dan Anda akan saya terima di sini." Diarrrr. Suara merdu dari kepala sekolah berhidung mancung itu seperti membangunkan saya dari mimpi di siang bolong. Ah, saya jadi tahu. Inilah rencana Tuhan setelah perjalanan panjang yang melelahkan mencari TK mana yang mau menerima saya. Kami pun berpelukan tanpa cipika-cipiki, lalu berpisah.
Singkat cerita, hari pertama PKL juga tidak sesuai harapan. Jadwal masuk dimulai pukul 8 pagi tetapi tiba-tiba saya harus periksa karena kaki terkilir dari main ski masih terasa. Senang rasanya, ketika saya konfirmasikan, mereka mengijinkan bahwa saya akan datang terlambat.
Setiba di ruangan, anak-anak memandangi saya. Iya, selain saya orang baru, saya ini orang asing. Teriakan saya mengucap "guten morgen" hanya dibalas satu-dua anak. Padahal ada 19 anak. Saya merasa invisible, nggak dianggep dan entah pikiran apa lagi yang nano-nano di kepala. Sakitnya tuh, di siniiii .