Mohon tunggu...
Gabriella Devi Benedicta
Gabriella Devi Benedicta Mohon Tunggu... -

Peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. Tertarik dan aktif menyuarakan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Seks Remaja, Antara Ada dan Tiada

19 Oktober 2012   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:39 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berbicara mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja tidak dapat dilepaskan dari anggapan sebagian kalangan yang menilai bahwa hal tersebut tabu untuk diperbincangkan. Meski dianggap tabu, nyatanya kita tidak dapat menafikan terjadinya pelbagai kasuskesehatan reproduksi dan seksual remaja.

Data profil kesehatan Indonesia tahun 2010 menunjukan bahwa remaja dalam rentang usia 10-24 tahun masih berada pada kelompok dengan jumlah paling besar, yaitu 63,4 juta orang.

Jumlah remaja yang menduduki kelompok usia terbesar di Indonesia menjadi kelompok yang rentan terhadap pelbagai masalah terkait kesehatan reproduksi seksual, seperti kehamilan di usia muda, kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak aman, maupun kekerasan berbasis gender.

Dalam mengawal masa pubertas remaja, seringkali orang dewasa di sekitar remaja, seperti orang tua, guru, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama tidak cukup siap untuk menjelaskan tentang apa yang akan dialami remaja. Akibatnya remaja tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi masalah seputar kesehatan reproduksi seksualnya.

Dalam wawancara yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI pada tahun 2012 dengan salah satu wakil kepala SMA di Kota Bandung, ia mengungkapkan kekuatirannya mengenai perilaku seksual siswa.

"Ada kasus KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan) di sekolah ini, sejak tahun 2008 dan hampir setiap tahun ada saja siswi yang hamil, namun melakukannya bukan dengan siswa disini, mereka kalo pulang sekolah sering dijemput apa sama pacar atau siapanya, makanya kami sebagai guru terkadang khawatir kalo siswa masih nongkrong sampai sore."


Permasalahan KTD yang dialami salah satu siswi di salah satu SMA di Kota Bandung seperti fenomena gunung es. Mungkin kasus KTD ataupun kasus kesehatan reproduksi seksual lainnya ada namun tidak teridentifikasi dan tercatat dalam perhitungan statistik.

Sebetulnya, apakah esensi pendidikan seks bagi remaja? Menurut saya, melalui pendidikan seks yang komprehensif, remaja dapat dibekali informasi yang tepat mengenai perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri mereka, mengenali tubuh mereka serta konsekuensi-konsekuensi yang mereka ambil atas pilihannya terkait kesehatan reproduksi dan seksual mereka.

Sehingga menjadi pilihan remaja sepenuhnya, misalnya untuk menikah di usia muda ataupun melindungi diri dari pelbagai kekerasan atau pelecehan seksual yang mungkin menimpa dirinya.

Di tingkat SMA, pendidikan seks sendiri sebetulnya sudah diberikan oleh beberapa guru mata pelajaran seperti biologi, penjasorkes, agama maupun BK/BP.

Berdasarkan hasil penelitian baseline survei "Penguatan Akses Remaja terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS)" tahun 2012 di delapan kota di Indonesia yang dilakukan oleh Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI yang dilakukan terhadap guru,mayoritas responden guru telah memberikan materi kesehatan reproduksi (59,1%) di dalam mata pelajaran yang diasuh dan sebesar 66,1% di luar mata pelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun