Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Para Elit, Ayo Dengarkan Suara Milenials

18 November 2018   11:00 Diperbarui: 18 November 2018   12:00 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir pekan adalah waktu yang pas untuk sedikit memanjakan diri, untuk doing nothing alias bermalas-malas. Sudah pasti tangan dan mata akan sibuk untuk scrolling social media untuk tahu kabar teman-teman anda, mengintip gossip artis, mencari referensi makan enak, atau menikmati video dari vlogger favorite. 

Di jaman ini Instagram dan Youtube menjadi media alternative yang mulai menggeser media generasi sebelumnya, TV, media cetak dan radio. Banyak nama yang kemudian muncul. Mereka bukan selebriti pada awalnya. Mereka dinamakan  vlogger atau video blogger , youtuber, content creator atau selebgram. Dengan kepiawaiannya masing-masing orang-orang ini mendirikan production house nya masing-masing.

Makanan, game, fashion, barang-barang terbaru, kosmetik, bahkan agama dan politik adalah sebagian hal yang bisa viral di media social. Pendek kata selama orang itu mampu mengakses internet dan punya handphone, maka mereka bisa menjadi selebriti baru. Berterimakasih lah kepada Youtube dan Instagram. Sebut saja Justin Bieber yang mulai popular menjadi superstar pop tahun 2007 sejak ibunya mengunggah video Bieber menyanyi di kanal Youtube. 

Dari negeri sendiri ada group vocal GAmaliel, Audrey, Cantika atau GAC yang menjadi fenomenal berkat video-video music mereka di Youtube.Sedangkan Awkarin, dengan mengabaikan tingkah polahnya menjadi ratu endorsement atau promosi di Instagram, bersanding dengan make up guru Tasya Farasya. Nama-nama tadi hanya segelintir dari ratusan atau mungkin ribuan orang yang terkenal lewat social media.

Pertanyaannya kemudian, kepada siapa kah unggahan-unggahan itu ditujukan? Yang pasti adalah generasi Millenial yang lahir diatas tahun 1980 hingga pergantian millennium dan juga generasi  Z. Laman Tirto.id pernah menurunkan artikelnya tentang pembagian generasi. 

Generasi Z di Indonesia didefinisikan sebagai mereka yang lahir pasca kehadiran internet di negeri ini, yaitu tahun 1994 hingga 2000an (kini). Keterikatan kedua generasi pada internet tak bisa dibantahkan. Masih dari Tirto.id, generasi Millenial yang lahir dengan keadaan internet masih kalah dibandingkan kelekatan generasi  Z.  

Kedua generasi ini individunya yang paling muda kini telah berusia 18 tahun, sedangkan generasi Z individu paling tua telah beranjak dewasa, 22-23 tahun. Mereka-mereka ini telah dianggap dewasa dan legal dalam banyak hal. Memiliki tanda pengenal, telah legal menikah, bekerja formal dan juga telah memiliki hak politik. Porsi kedua generasi ini pada tahun pemilu mendatang juga cukup tinggi, sekitar dari 34% dari calon pemilih. Menjadikan mereka pemilih potensial dan telah dibidik sejumlah tokoh dan partai politik.

Sebaliknya, dengan perkembangan teknologi saat ini bukan tidak mungkin generasi  Milenial dan Z lebih memilih mencari informasi tentang politik dan system Negara lewat media social. Maka menjadi tugas para elite juga untuk memberikan pendidikan politik dengan memperlihatkan kondisi politik Indonesia yang  sehat, dewasa dan optimis. Sehingga keengganan dan jarak kedua generasi ini terhadap politik bisa semakin kecil. Citra muda, segar, berpikiran terbuka dan positif dari para elite sekaligus dapat menjadi senjata merebut hati dan simpati milenial diantara pesona para selebgram dan youtubers. Sehingga lahir juga pemimpin2 baru yang cerdas.

Anak-anak muda di Jogjakarta dalam suatu forum diskusi mengatakan mereka cukup antusias mengikuti isu politik. Bagi mereka,  pemimpin yang memiliki reputasi baik, dengan bukti kerja yang nyata dan mampu menolak praktek korupsi adalah ideal. Mereka menambahkan, wakil rakyat, apa lagi yang mewakili Jogja di tingkat nasional tidak harus asli Jogja. Mereka tidak terlalu peduli asal kedaerahan , sejauh kandidat tersebut mampu memperlihatkan bukti kerja dan dapat memberikan dampak baik. Menilik pernyataan itu, sosok Bambang Soepijanto menjadi salah satu harapan. 

Sejak muda Bambang Soepijanto terbiasa aktif. Pengalamannya menjadi pemimpin timbul sejak Bambang menjadi  pengurus OSIS di SMP dan SMA nya di Banyuwangi. Ya, Bambang Soepijanto memang bukan putra asli daerah karena lahir dan besar di Jawa Timur. Namun baginya Jogja adalah kota kelahiran kedua. Kemampuan dan pengalamannya menjadi pemimpin hingga akhirnya menjadi Direktur Jenderal Planologi  Kehutanan dan Staff diawali di Jogjakarta, disela-sela ia berkuliah di Fakultas Pertanian UPN Veteran. Di UPN Bambang Soepijanto juga tidak berdiam diri. Ia terlibat dalam Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian, dan bahkan sempa menjadi ketua umum.

Di usianya kini Bambang Soepijanto memilih aktif berkarya lewat politik praktik. Bapak dua anak ini sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jogjakarta. Perjuangan ini tidak mudah Karena tiap-tiap provinsi hanya bisa mengirimkan empat orang wakilnya menjadi DPD, dan melalui pemilihan umum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun