Mohon tunggu...
Winarto
Winarto Mohon Tunggu... -

Selama 23 tahun menjadi wartawan - lima tahun di media cetak dan tujuhbelas tahun di televisi nasional - kini sebagai Direktur lembaga pelatihan jurnalistik dan penulisan, "Graha Media School" di Jakarta. Selain itu juga sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, dan pemilik serta pengelola sejumlah website, diantaranya: www.we-painting.com dan www.grahamediaschool.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menulis Artikel Ilmiah? Siapa Takut?

24 April 2012   01:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:13 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Winarto

Belum lama ini Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan para mahasiswa baik S1, S2 maupun S3 menulis artikel di jurnal ilmiah. Penerbitan tulisan di jurnal ilmiah ini menjadi syarat bagi kelulusan para mahasiswa. Untuk mahasiswa S1 makalah harus dimuat setidak-tidaknya di jurnal ilmiah kampus, S2 di jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Ditjen Dikti, dan S3 di jurnal ilmiah internasional.

Kebijakan ini segera menuai kontroversi. Kalangan perguruan tinggi umumnya menolak kewajiban yang dinilai tidak realistis tersebut. Ada sejumlah alasan penolakan mereka. Pertama, menyangkut soal teknis. Masalahnya yakni berapa banyak jurnal ilmiah harus dibuat untuk menampung makalah ratusan ribu lulusan S1 setiap tahunnya? Siapa yang akan membiayai? Kalau masalah ini bisa diatasi pertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan mengelola jurnal-jurnal ilmiah tersebut?

Mengingat sifatnya sebagai jurnal ilmiah, tentu para pengelolanya tidak bisa sembarang orang. Pengelola jurnal ilmiah harus orang-orang yang memiliki kualifikasi memadai untuk menyimak dan menilai layak tidaknya artikel atau makalah yang akan diterbitkan. Apakah tersedia cukup tenaga untuk itu?

Kalaupun ada tenaga dengan kualifikasi seperti itu, katakanlah para dosen dan pembimbing skrispsi atau tesis, apakah mereka masih punya waktu untuk menyeleksi ribuan artikel yang akan diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah yang ada? Bagi para mahasiswa, berapa lama mereka harus antre menunggu artikel atau makalahnya bisa diterbitkan? Apakah kalau artikel mereka belum diterbitkan mereka harus menunggu beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun untuk bisa lulus? Bagaimana bila ternyata artikel mereka ditolak? Apakah mereka harus membuat ulang lagi artikel baru yang tentu membutuhkan waktu dan tenaga. Bukankah itu berarti jadwal kelulusan mereka pun semakin mundur? Tidakkah semua ini merupakan pemborosan waktu, tenaga dan biaya bagi mahasiswa? Kondisi seperti ini akan membuka ruang bagi munculnya jurnal ilmiah abal-abal yang menampung artikel dengan kualitas macam apapun dari para mahasiswa yang ingin bisa segera lulus.

Sekadar Niat Baik

Itulah berbagai pertanyaan menyangkut kebijakan baru Dirjen Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional. Mengingat berbagai problem tersebut banyak yang meragukan niat baik Dirjen Dikti tersebut bisa diwujudkan. Hal ini kiranya menjadi masukan dan koreksi bagi Dirjen Dikti.

Lepas dari berbagai problem teknis maupun non-teknis yang cukup banyak, niat baik pemerintah tersebut patut dihargai. Kebijakan tersebut sebenarnya dilatar-belakangi keprihatinan pemerintah melihat masih rendahnya jumlah penerbitan makalah dalam jurnal ilmiah di Indonesia. Dibanding negara tetangga, Malaysia misalnya, Indonesia masih kalah jauh. Kebijakan yang mewajibkan mahasiswa menulis di jurnal ilmiah diharapkan bisa dengan cepat meningkatkan produktivitas makalah ilmiah di tanah air.

Namun, niat baik saja tentu tidak cukup. Pemerintah perlu mengkaji lebih dulu apa penyebab rendahnya produktivitas makalah ilmiah di tanah air dan selama ini apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mendorong lahirnya tulisan-tulisan ilmiah yang berbobot. Salah satu problem yang dihadapi perguruan tinggi dalam penerbitan jurnal ilmiah yakni tidak adanya anggaran yang memadai.

Anggaran diperlukan selain untuk biaya cetak, distribusi, honor pengelola, juga untuk membayar secara layak para penulis artikel yang berbobot. Selama ini banyak jurnal ilmiah hidup kembang kempis, kadang terbit kadang tidak, karena alasan tidak adanya biaya. Tanpa dana yang cukup, sulit mencari para penulis artikel yang berkualitas dan pengelola terutama tim redaksi yang mumpuni sesuai kompetensi ilmiah jurnal. Adanya anggaran yang memadai penting artinya bagi penerbitan jurnal, mengingat jurnal ilmiah tidak mudah dijual seperti halnya penerbitan majalah umum. Nah, sudahkah pemerintah memberi perhatian menyangkut masalah ini?

Di sisi lain, sejumlah pertanyaan patut diajukan kepada para pengelola perguruan tinggi. Apakah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia selama ini sudah berusaha mendorong para staf pengajar dan mahasiswanya menulis? Bagaimana perguruan tinggi menciptakan iklim akademik yang sehat dan merangsang tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru dan kritis, mendorong para dosen dan mahasiswa melakukan penelitian-penelitian untuk pengembangan ilmu dan menulis laporan-laporan pada jurnal-jurnal ilmiah yang berkualitas?

Menulis sesungguhnya merupakan kebutuhan bagi mahasiswa, lebih-lebih bagi mahasiswa S2 dan S3. Demikian pula bagi para dosen, menulis seharusnya merupakan bagian dari kesehariannya, mengingat tugas seorang dosen adalah mentransfer ilmu pengetahuan. Melalui tulisan, baik dalam bentuk artikel di surat kabar, majalah, atau makalah di jurnal-jurnal ilmiah, serta buku, seorang dosen lebih bisa menyebarkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya secara sistematis. Pada era kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, penyebaran tulisan bisa lebih luas, menerobos batas-batas geografi, yakni melalui internet.

Sejauh ini, agaknya tidak banyak mahasiswa dan dosen yang menganggap menulis sebagai kebutuhan. Menulis dalam arti menyampaikan pendapat secara tertulis berdasar kerangka berpikir yang sistematis, logis dan argumentatif, selama ini belum menjadi bagian dari kultur pendidikan di tanah air, baik di tingkat dasar, menengah, maupun perguruan tinggi. Padahal melalui tulisanlah ilmu pengetahuan dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga bisa dipelajari, dikritisi, serta dikembangkan guna membangun teori-teori yang baru. Melalui tulisan pula peradaban berkembang.

Mengingat kenyataan ini, meskipun perlu dikritisi karena tidak realistis, kebijakan Dirjen Dikti di atas bagaimanapun telah menyadarkan kita tentang pentingnya bagi para mahasiswa dan pengajar di perguruan tinggi belajar menulis. Menulis? Siapa takut?

Winarto, lulusan Magister Sosiologi Universitas Indonesia, pengajar tidak tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, Direktur lembaga pelatihan jurnalistik dan penulisan Graha Media School.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun