Soal reputasi, Sri Mulyani (SMI) tidak perlu diragukan lagi. Saat gonjang ganjing ekonomi di Asia, Amerika dan Eropa pada titik yang paling parah, Indonesia bisa survive. Saat kondisi ekonomi dalam kondisi berbahaya, sebagai seorang teknokrat ekonomi dengan sigap SMI mengambil tanggung jawab dan peran besar. Langkah mengambil peran dominan patut kita acungi jempol karena ini menjadi bidangnya. Jika kemudian ada kontroversi dan foto fotonya banyak dibakar oleh Demonstran KAOS MERAH, hal ini sama sekali menurunkan reputasinya. Terbukti World Bank pun menawarinya gabung untuk posisi yang orang Indonesia sebelumnya tidak pernah mencapainya.
Sudah pindah ke Wolrd Bank pun masih banyak yang nyinyir menuduh, SMI masuk World Bank sebagai antek asing dan akan merampok Indonesia. Ya tuduhan keji, karena terbukti justru utang luar Indonesia terus menurun di Era SBY jilid2.
Memangkas Anggaran Bombastis
Melihat ekonomi Indonesia salah kelola, menyebabkan SMI balik lagi ke Indonesia sebagai menteri keuangan pada tahun ke-2 Pemerintahan Jokowi. Langkah pertama yang dilakukan adalah memotong anggaran yang bombastis dan tidak cermat. Di saat saat awal sepertinya akan berhasil, tetapi kemudian SMI terlihat gamang. Manajemen POKOKe yang diterapkan Jokowi pada jajarannya, memaksa para cerdik pandai menjadi bodoh. Para cerdik pandai termasuk SMI harus bilang "Yess Boss!" tanpa ada kesempatan berargumentasi secara keilmuan.
Tidak Semua Mau "Yess Boss!"
Gaya manajemen POKOKe setidaknya sudah memakan korban Mantan Menko Kelautan Rizal Ramli. Rizal Ramli tahu benar bahwa proyek listrik 35.000 MW terlalu bombastis dan akan membebani keuangan negara. Demikian juga Rizal Ramli mengkritik kebijakan investasi Garuda Indonesia. Karena tidak bersedia menjadi "Yess Boss!" di copotlah jabatan Menko Maritim. Tidak sampai 2 tahun, kritik Rizal Ramli terbukti, Proyek Listrik 35.000 MW jauh dari target dan Garuda Indonesia amblas dan merugi cukup dalam.
SMI Digoyang
Saat ini nuansa SMI dijadikan kambing hitam atas terpuruknya ekonomi Indonesia, mulai terdengar nyaring. Para buzzer bayaran terlihat mulai melakukan fitnah fitnah keji. Tak terkecuali di kompasiana juga terasa kerja para buzzer ini.
Negara di Jalankan dengan pendekatan Buzzer
Fenomena buzzer ini jelas terlihat dan tidak dapat dipungkiri berbau istana. Masih ingat bagaimana dulu Istana merekrut para kompasiana untuk menjadi buzzernya? Ya secara resmi nama mereka tidak akan di ubah menjadi buzzer-A, buzzer-B dsb. Tetapi lihat saja tulisannya. Setelah makan gratis di istana bukan menjadi penulis yang obyektif, tetapi makin bertambah nafsunya mengambil sikap sebagai seorang buzzer. Tidak semua memang, bahkan ada yang sudah berbalik, teapi sebagian besar masih menjalankan peran buzzer istana.
Utang Produktif
Ketika rakyat bertanya mengapa pertumbuhan utang dalam dua tahun terakhir sangat cepat, pemerintah selalu bilang rasio utang masih aman dan utang digunakan untuk hal yang produktif jadi tidak perlu kawatir. Tetapi apakah benar klaim "utang masih aman" dan "utang produktif"?
Rasio utang masih aman? rasio utang bukanlah variabel signifikan yang menentukan kondisi menuju krisis. Jika rasio utang menjadi variabel signifikan penentu krisis, tentu Jepang sudah krisis karena rasionya sudah diatas 200%. Tetapi utang negara maju identik dengan populasi mata uangnya secara global. Jepang punya Honda, Toyota, Toshiba, Sharp dsb, produk global yang harus dibayar dengan Yen. Indonesia punya produk global apa? seberapa populer rupiah secara global? Tidak ada dan tidak populer.
Utang Produktif? Layaknya sebuah warung Kaki5, jika memperoleh utang dari bank dalam jumlah besar, maka warungnya berubah lebih baik, lebih besar dan omset naik. Demikian juga dengan APBN, Jika klaim Utang Produktif tersebut benar maka nilai APBN kita harusnya sudah 3000 Trilyun Rupiah dengan penambahan utang secara masih, terbukti APBN stagnan di angka 2000 trilyun rupiah.