Tulisan ini mengangkat tema toleransi pedesaan dan potret singkat toleransi masyarakat di Desa Wae Wako, tempat saya tinggal dan mengabdi sekarang ini.
Tapi, sebelum kita merangkak jauh ke sana, saya ingin mengajak pembaca budiman sekalian untuk terlebih dulu mengenal apa itu konsep toleransi, dan seperti apa implementasinya di tengah kehidupan masyarakat umum.
Jika ditilik dari kacamata bahasa, toleransi berasal dari bahasa latin "tolerare", dalam artian kesabaran dan mampu menahan diri. Selain itu, dapat diartikan pula sebagai sikap untuk saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam lingkup suatu masyarakat.
Pada galibnya, sikap toleransi selalu memberikan efek positif dalam kehidupan bermasyarakat, walaupun keanekaragaman itu muncul dalam ritme kehidupan.
Bangsa Indonesia sejak dahulu kala sudah dikenal sebagai bangsa yang heterogen (majemuk). Hal ini ditandai dengan banyaknya etnis, suku, agama, bahasa, budaya, dan adat-istiadat yang tersebar di seluruh reksa wilayah tanah air.
Jika bicara persoalan agama, negara Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, melainkan secara konstitusional negara mewajibkan warganya untuk bebas memeluk satu dari beberapa agama yang diakui eksistensinya sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Kenyataan ini dengan sendirinya mengharuskan negara untuk terlibat dalam menata kehidupan beragama. Toleransi umat beragama bisa dikatakan mengkhawatirkan, tatkala kepentingan politik praktis yang selalu dikaitkan dengan  segmentasi keyakinan bisa saja membawa nestapa dan segregasi antarumat beragama.
Menurut Kiai Hasyim Muzadi, kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Indonesia harus diperkuat dan terus dipupuk. Konstruksi toleransi agama harus dibangun melalui dialog dan keterbukaan antaragama.
Hampir setiap doktrin agama memberikan ruang atau tempat bagi nilai-nilai universal kemanusiaan yang dapat digunakan semua agama untuk saling membantu dan bekerja sama. Kiai Hasyim (tokoh muslim) Â berpandangan ada beberapa tahapan tidak terciptanya toleransi antar umat beragama.
Fase pertama, tiap-tiap agama berjalan sendiri-sendiri. Setiap umat beragama hanya memikirkan kepentingannya dalam lingkup kepentingan sempit.
Fase kedua, tiap-tiap agama sibuk dengan urusannya sehingga tak ada ruang bagi umat beragama peduli urusan umat lain.