Pasca ditetapkannya Ibu Emi Nomleni sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP NTT, periode 2019-2024, terjawablah teka-teki nahkoda politik Partai yang berlambang banten merah itu.
Partai yang sudah 20-an tahun dinahkodai oleh Frans Lebu Raya (Mantan Gubernur NTT dua periode itu), akhirnya jatuh ke dalam genggaman tangan seorang ibu.
Saya masih ingat persis, pada masa pertarungan memperebut kursi NTT 1 waktu itu, Ibu Emi sebagai calon wakil dari Marianus Sae, diusung PDIP, pernah mengatakan bahwa kemiskinan di NTT ini berwajah ibu.
Latar belakang pernyataannya dilihat pada korban human trafficking, pemerkosaan, broken home, KDRT, meningkatnya angka kematian saat melahirkan, yang lebih banyak adalah ibu-ibu.
Apa yang telah ditandaskan itu, sekiranya menjadi perjuangan Ibu Emi Nomleni dalam masa kepemimpinannya beberapa tahun yang akan datang.
Dalam skala yang lebih luas, tentu dalam mitra kerja dengan partisipasi pimpinan lain, NTT dari waktu ke waktu perlu diberdayakan terus menerus.
Menurut hemat saya, politisi NTT perlu digerakkan oleh suatu semangat keibuan dalam memperjuangkan nasib rakyat NTT. Sama seperti seorang ibu memberikan dirinya, menyusui seorang anaknya pasca dilahirkan, sedemikian itu, setiap politisi NTT perlu menanamkan dalam-dalam filosofi keibuan ini.
Apa yang ditandaskan tentang ibu-ibu selalu menjadi korban, perlu ditingkatkan statusnya sebagai garis terdepan untuk diperhatikan.
Menurut hemat saya, membangun NTT perlu dimulai dari semangat keibuan, mengingat bahwa yang paling banyak berkorban demi penataan keluarga dan rumah tangga adalah ibu-ibu.
Hal yang sama pun dapat dilihat dalam kehidupan menggereja, di mana dapat dipastikan bahwa ketidakhadiran ibu-ibu banyak kali menimbulkan berbagai kemacetan dalam kegiatan-kegiatan gerejani.
Praksisnya, hati seorang ibu, yang membuahkan semangat keibuan perlu ditanamkan sebagai sebagai penggerak setiap aktivitas.