Mohon tunggu...
FRANSISKUS LATURE
FRANSISKUS LATURE Mohon Tunggu... Advokat | Penulis | Managing Partner FLP Law Firm

Antara hukum dan kemanusiaan, saya memilih berjalan di garis tipis yang memisahkan keduanya. Menulis untuk memastikan kebenaran tetap hidup di tengah bisingnya zaman.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hasto dan Dendam Demokrasi

26 April 2025   12:49 Diperbarui: 26 April 2025   12:49 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Hasto Kristiyanto berjuang melawan kezaliman politik./Fransiskus Lature, S.H.

Di ruang sempit Pengadilan itu, Hasto Kristiyanto duduk sendiri. Setia pada diam. Setia pada apa yang dulu ia bela, loyalitas tanpa syarat. Publik, seperti biasa, terbelah. Sebagian menganggap ini hukum yang akhirnya bergerak. Sebagian lain membaca isyarat, ini politik yang sedang menagih utang masa lalu.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu kini berhadapan dengan dakwaan obstruction of justice dalam kasus Harun Masiku. Tanpa tameng partai. Tanpa sorak barisan elite yang dulu bangga berdiri di belakangnya. Di ruang ini, yang tersisa hanya dirinya dan sejarah yang perlahan menggerogoti ingatan kolektif.

Secara normatif, tuduhan terhadap Hasto berakar pada dugaan menghalangi penyidikan atas Harun, eks Caleg PDIP yang raib sejak operasi tangkap tangan KPK pada 2020. Tapi siapa pun yang mau membaca lebih dalam tahu, perkara ini bukan sekadar soal menyembunyikan orang. Ini tentang waktu. Tentang kenapa kasus yang mengendap empat tahun baru kini dimunculkan ke permukaan.

Logika sosiologis mengajukan tafsir yang lebih getir. Dalam dinamika transisi kekuasaan, dikenal istilah "Retribusi Simbolik" sebuah mekanisme halus untuk menghapus jejak elite lama, bukan lewat kudeta, tapi lewat hukum dan opini. Hasto bukan sekadar terdakwa. Ia simbol yang harus dibongkar agar jalan bagi konfigurasi kekuasaan baru menjadi lapang.

"Kita sedang menyaksikan koreksi politik yang dibungkus hukum," kata Mada Sukmajati, pengamat politik Universitas Gadjah Mada.

Pasca Pilpres 2024, peta berubah. PDIP, yang dua periode mendominasi, tercerabut dari pusat kendali. Poros baru berbenah, membangun narasi, menata ulang institusi, dan tentu, merapikan ingatan publik. Di tengah pergeseran itu, sosok seperti Hasto menjadi canggung, terlalu setia pada yang lama, terlalu lambat membaca arah angin.

Refly Harun, pakar hukum tata negara, membaca kasus ini sebagai selective enforcement. "Kalau serius, kenapa baru sekarang? Ini bukan sekadar penegakan hukum, ini orkestrasi koreksi politik," katanya dalam sebuah diskusi daring.

Dalam demokrasi yang belum matang, hukum tidak pernah netral. Ia lentur, mengikuti lekuk-lekuk kehendak kekuasaan. Di negeri ini, siapa yang mengendalikan negara, dia pula yang mengendalikan tafsir atas keadilan.

Barangkali yang paling menyakitkan bukanlah dakwaan itu sendiri, melainkan sepi yang mengikutinya. Tidak ada pernyataan resmi dari partai. Tidak ada pembelaan dari elite. Tidak ada solidaritas politik. Diam menjadi pesan yang lebih nyaring daripada teriakan, Hasto kini adalah beban yang harus ditanggalkan.

Dalam demokrasi yang mapan, loyalitas adalah kebajikan. Di sini, loyalitas sering kali berakhir di meja pengadilan. Bukan karena salah atau benar, tapi karena roda kekuasaan terus berputar, dan yang tertinggal mesti disingkirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun