Mohon tunggu...
Fransiscus Widiyatmoko
Fransiscus Widiyatmoko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

... berjuang untuk MEMANUSIAKAN KEMBALI KEMANUSIAAN MANUSIA INDONESIA ... yang telah luluh lantak akibat terpeliharanya watak TAMAK dan EGOIS yang ditabur sejak tahun 1966 ...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

ATHEIS INDONESIA ... INKONSTITUSIONALKAH?

2 Oktober 2011   04:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada saat membaca tajuk-tajuk yang ada dalam rubrik Hukum, saya tertarik dengan sebuah tulisan bertajuk "ATHEIS DI INDONESIA, TERNYATA MASIH ADA" (http://hukum.kompasiana.com/2011/09/27/atheis-di-indonesia-ternyata-masih-ada/#3637516). Semula saya memperkirakan isi tulisan tersebut tentunya sebuah ekspresi keterkejutan si penulis atas realitas adanya anggota masyarakat Indonesia yang memilih Atheis sebagai cara pandang keberadaan dirinya di dunia, dan yang menggugah keingintahuan saya adalah bagaimanakah si penulis menemukan kenyataan ini.

Ternyata tulisan yang diposting oleh Bapak Mobit Warsono Atmojo berawal dari temuan beliau di kolom Suara Pembaca Koran Tempo atas protes yang disuarakan oleh salah seorang anggota Komunitas Atheis Indonesia terhadap pernyataan Sdr. DR. Din Syamsudin yang menanggapi aksi pengeboman di sebuah Gereja di kota Solo. Saat saya membaca seksama pernyataan dari DR. Din Syamsudin yang mana yang menimbulkan protes, saya kemudian menyadari bahwa kerapkali dalam interaksi sosial kita tidak menyadari bahwa apa yang telah kita ucapkan (yang mungkin bermaksud utk mengutuk suatu tindakan keji) secara tidak sengaja telah melukai atau menyinggung kelompok masyarakat tertentu. Menilai ungkapan DR. Din Syamsudin yang diquote oleh Bapak Mobit, saya berpendapat bahwa si pemrotes berada pada tindakan yang benar, yaitu meluruskan ungkapan yang disampaikan oleh DR. Din Syamsudin yang bersifat apriori dan secara ceroboh menggeneralisir dan mengidentikkan suatu tindakan keji dengan suatu kelompok masyarakat tertentu. Demikian pun saya menilai wajar tuntutan dari si pemrotes terhadap DR. Din Syamsudin, dan menurut saya, untuk seorang intelektual sekaliber DR. Din Syamsudin tentunya tidak merasa direndahkan dengan protes tersebut dan secara bijak mengakui bahwa telah salah berucap pada saat itu. Sebab saya yakin, ungkapan yang kemudian menjadi satu permasalahan bagi kelompok masyarakat yang bergabung dalam Komunitas Atheis Indonesia disampaikan oleh DR. Din Syamsudin dalam kondisi emosional sehingga secara tidak menyadari bahwa yang diungkapkannya berpotensi melukai perasaan anggota masyarakat lain.

Sampai pada pemikiran ini, saya mencoba menemukan main-issue yang ingin disampaikan oleh Bapak Mobit dalam tulisannya tersebut. Agak terkejut ketika saya menyadari bahwa dari rasa terkejut yang disampaikan oleh Bapak Mobit ternyata mengarah pada pertanyaan layak tidaknya seorang yang mengaku Atheis hidup di negeri dengan dasar falsafah Pancasila. Bahkan lebih jauh lagi, tersirat dalam tulisan yang beliau posting suatu rasa khawatir bahwa Komunitas Atheis Indonesia memiliki potensi yang membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa.

Pernyataan bahwa kehadiran seorang yang berani mengakui dirinya seorang Atheis dinilai sebagai suatu kegagalan proses berbangsa dan bernegara, menjadi suatu pernyataan yang membuat saya mulai merenungkan apakah benar kehadiran kaum Atheis di negeri ini adalah suatu kegagalan proses berbangsa dan bernegara?

Berangkat dari Sila Pertama Pancasila yang menyatakan KETUHANAN YANG MAHAESA ... apakah sila itu bermakna bahwa semua orang yang mengaku bertanah air Indonesia harus memiliki agama? Lalu apa makna agama bagi masyarakat Indonesia? Apakah kehadiran masyarakat Atheis di negeri ini menjadi aib bagi bangsa ini?

AGAMA DAN TUHAN

Agama ... sejatinya adalah proses pencarian manusia atas asal muasal keberadaannya di dunia dan hubungannya dengan peran apa yang harus dijalankan oleh seorang manusia dalam proses mengadanya di dunia ini. Memang sebuah pernyataan yang bersifat filosofis, tetapi fakta sejarah kelahiran agama-agama besar di dunia sepanjang peradaban umat manusia memang mengarah pada penemuan jati diri dan pengidentifikasian peran manusia dalam menjalani hidup di dunia nyata. Sampai pada pemahaman ini ... saya berpikir ... jika demikian, sejatinya agama bisa muncul dalam pelbagai nama dan pelbagai ritual ... seturut tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pemeluk atau penganut agama tersebut.

Tercatat dalam sejarah bahwa pernah muncul beragam kepercayaan dan agama yang jika ditelisik menurut peradaban manusianya akan mengarah pada kenyataan bahwa agama bukan sesuatu yang mati, tetapi terus hidup seturut perkembangan hidup pemeluknya. Kisah-kisah manusia dahulu selalu memberikan sesaji (mulai dari hasil bumi hingga pada penumbalan manusia) kepada gunung-gunung berapi dan kekuatan alam yang tidak mampu diatasi oleh manusia pada jamannya adalah bentuk ritual kepercayaan manusia terhadap keberadaan dirinya dan hubungannya dengan kekuatan alam yang ada.

Sebagai sebuah entitas yang organis, maka agama dan aliran kepercayaan sejatinya adalah proses pelembagaan pemahaman manusia atas asal muasal keberadaannya di dunia dan melalui proses pelembagaan tersebut, manusia dapat menemukan peran penting yang harus manusia lakukan sebagai sebuah tanggungjawab historis atas keberadaannya di dunia. Pada titik ini ... apakah agama harus seragam mengakui adanya satu zat tunggal yang mengatur keberadaan mahluk hidup dan benda-benda alam yang ada di dunia?

Kembali lagi kepada sejarah perkembangan agama2 yang pernah ada dan masih ada saat ini ... manusia pernah mempercayai bahwa zat pengatur kehidupan ada dalam fenomena alam, seperti hujan, kemarau, banjir, dlsbnya. Tidaklah aneh jika kemudian kita mendapati dari temuan arkeologi artefak-artefak ataupun peninggalan berupa lukisan-lukisan gua yang menggambarkan pemujaan manusia pada dewa hujan, dewa cahaya, dewa angin, dan lain penyebutan utk fenomena alam yang manusia anggap sebagai penentu keberlangsungan hidupnya.

Manusia pernah pula mempercayai bahwa kekuatan benda-benda alam merupakan manifestasi atau perwujudan dari zat pengatur kehidupan. Fakta ini dapat kita jumpai pula dari peninggalan arkeologi berupa kuil-kuil pemujaan kepada gunung berapi, lautan dan sungai, juga hutan dan pohon-pohon besar. Penamaannya pun beragam dari Dewa Gunung, Dewa Matahari, Dewa Bulan, Dewa Pohon, Dewa Laut, dan lain-lainnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun