Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah KPR Bukan Rumah Impian Gen Z

19 Juni 2025   05:38 Diperbarui: 19 Juni 2025   05:38 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Subsidi Pesona Kahuripan di Cileungsi, Bogor(Pesona Kahuripan)

Bayangkan kamu baru berusia 26 tahun, kerja kantoran, penghasilan pas-pasan, dan tiba-tiba dikejar-kejar iklan "promo rumah KPR murah, cicilan ringan, cuma sejuta-an per bulan". Awalnya terdengar menggoda, bahkan seperti mimpi. Tapi, di balik iming-iming itu, apakah benar rumah KPR masih relevan untuk generasi sekarang? Atau justru jadi beban yang membelenggu kebebasan?

Inilah yang jadi keresahan banyak anak muda hari ini, terutama Gen Z. Rumah bukan lagi sekadar bangunan permanen untuk tinggal, tapi telah berubah makna menjadi simbol pilihan gaya hidup, kebebasan, dan kadang bahkan perlawanan terhadap sistem ekonomi yang terasa tidak adil.

Narasi Lama Soal Kepemilikan Rumah Sudah Mulai Retak

Selama bertahun-tahun, kepemilikan rumah dianggap sebagai puncak pencapaian finansial. Orang tua kita dulu selalu bilang, "Kalau sudah punya rumah, hidupmu aman." Tapi realitas zaman sekarang jauh berbeda.

Harga rumah di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya naik jauh lebih cepat daripada kenaikan gaji rata-rata. Di Jakarta, misalnya, harga rumah tapak bisa mencapai lebih dari Rp1 miliar, sementara gaji UMR hanya sekitar Rp5 juta. Artinya, kalau kamu menabung setengah dari gajimu setiap bulan, kamu baru bisa beli rumah itu dalam 25 tahun. Dan itu pun belum termasuk inflasi dan kebutuhan hidup harian.

Di saat yang sama, generasi Z menghadapi tekanan ekonomi yang tidak dialami generasi sebelumnya. Mulai dari tingginya biaya pendidikan, beban utang konsumtif, hingga tekanan sosial untuk selalu tampil "mampu" di media sosial. Ditambah lagi dengan dunia kerja yang kini serba tidak pasti banyak perusahaan lebih memilih karyawan kontrak, freelance, atau kerja remote. Semua ini membentuk cara pikir baru soal tempat tinggal: rumah permanen bukan lagi keharusan, tapi justru bisa menjadi penghambat fleksibilitas hidup.

KPR Kini Lebih Mirip Perangkap Finansial daripada Solusi

Mari bicara jujur. KPR memang terdengar seperti solusi pintar bagi yang ingin punya rumah tapi belum punya cukup uang tunai. Tapi kalau kita kupas lebih dalam, ternyata banyak jebakan tersembunyi di balik brosur-brosur menarik itu.

Pertama, bunga KPR di Indonesia tergolong tinggi. Meski bank sering menawarkan bunga rendah untuk satu atau dua tahun pertama, setelah itu suku bunga bisa melonjak mengikuti kondisi pasar. Ini membuat jumlah cicilan jadi tidak pasti. Banyak orang yang awalnya merasa sanggup membayar, akhirnya kewalahan setelah bunga naik beberapa persen.

Kedua, proses KPR penuh dengan biaya-biaya tersembunyi: biaya administrasi, provisi, asuransi, notaris, hingga pajak-pajak yang kadang tidak dijelaskan sejak awal. Dalam banyak kasus, biaya tambahan ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Ini belum termasuk biaya renovasi rumah baru yang kadang hanya dibangun setengah jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun