Bayangkan kamu bangun pagi dengan kepala berat, dada sesak, dan pikiran kalut. Tapi kamu tetap berangkat kerja, tersenyum, dan menyapa rekan seolah semua baik-baik saja. Di dalam, kamu berjuang sendirian. Lalu saat kamu akhirnya berkata, "Aku butuh istirahat karena kesehatan mentalku terganggu," kamu malah disambut tatapan heran, atau lebih buruk lagi dianggap lemah.
Inilah realita yang masih sering terjadi di banyak tempat kerja. Masalah mental belum diperlakukan sebagai bagian dari kesehatan secara utuh. Masih ada kesenjangan pemahaman, ditambah budaya kerja yang lebih menghargai ketahanan pura-pura daripada kejujuran akan kondisi diri. Dalam artikel ini, kita akan membongkar akar dari anggapan tabu tersebut, mengulasnya secara mendalam dari sudut pandang yang lebih segar dan tajam.
Budaya Kerja Maskulin Tahan, Jangan Mengeluh
Di banyak tempat kerja, termasuk di Indonesia, masih tertanam budaya kerja yang kaku, beraroma maskulinitas toksik---di mana keberhasilan diukur dari seberapa sanggup seseorang menahan tekanan, bukan seberapa bijak dia mengelolanya. Kalimat seperti "Jangan baper, itu cuma kerjaan," atau "Kamu terlalu sensitif," menjadi senjata halus yang mematikan ruang dialog soal kesehatan mental.
Dalam sistem seperti ini, empati sering dianggap gangguan, dan emosi dianggap kelemahan. Akibatnya, karyawan memilih diam, berpura-pura kuat, lalu perlahan tumbang dalam diam. Tempat kerja tak memberi ruang aman untuk jujur, justru menuntut performa maksimal tanpa mempedulikan isi kepala dan hati.
Budaya kerja semacam ini tak hanya menekan secara emosional, tapi juga bisa menciptakan efek domino: burnout, depresi, hingga kehilangan rasa percaya diri. Padahal, ketika seseorang diberi ruang untuk merasa dan pulih, produktivitas justru cenderung meningkat.
Namun sayangnya, pemahaman ini masih belum banyak ditemui dalam kebijakan perusahaan. HR sering kali lebih fokus pada cuti tahunan dan laporan absen, ketimbang membuka diskusi soal kesehatan mental sebagai isu strategis organisasi.
Luka Psikologis Tidak Terlihat, Tapi Berdampak Nyata
Berbeda dari patah kaki atau demam tinggi, gangguan mental tak bisa diukur dengan termometer atau rontgen. Ini yang membuat banyak orang bahkan sesama rekan kerja tidak bisa atau enggan memahami kondisi tersebut.