Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kenapa Masalah Mental Masih Dianggap Tabu di Tempat Kerja?

18 Juni 2025   09:10 Diperbarui: 18 Juni 2025   07:00 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stres di tempat kerja, stres di kantor.(PEXELS/MIKHAIL NILOV)

Bayangkan kamu bangun pagi dengan kepala berat, dada sesak, dan pikiran kalut. Tapi kamu tetap berangkat kerja, tersenyum, dan menyapa rekan seolah semua baik-baik saja. Di dalam, kamu berjuang sendirian. Lalu saat kamu akhirnya berkata, "Aku butuh istirahat karena kesehatan mentalku terganggu," kamu malah disambut tatapan heran, atau lebih buruk lagi dianggap lemah.

Inilah realita yang masih sering terjadi di banyak tempat kerja. Masalah mental belum diperlakukan sebagai bagian dari kesehatan secara utuh. Masih ada kesenjangan pemahaman, ditambah budaya kerja yang lebih menghargai ketahanan pura-pura daripada kejujuran akan kondisi diri. Dalam artikel ini, kita akan membongkar akar dari anggapan tabu tersebut, mengulasnya secara mendalam dari sudut pandang yang lebih segar dan tajam.


Budaya Kerja Maskulin Tahan, Jangan Mengeluh

Di banyak tempat kerja, termasuk di Indonesia, masih tertanam budaya kerja yang kaku, beraroma maskulinitas toksik---di mana keberhasilan diukur dari seberapa sanggup seseorang menahan tekanan, bukan seberapa bijak dia mengelolanya. Kalimat seperti "Jangan baper, itu cuma kerjaan," atau "Kamu terlalu sensitif," menjadi senjata halus yang mematikan ruang dialog soal kesehatan mental.

Dalam sistem seperti ini, empati sering dianggap gangguan, dan emosi dianggap kelemahan. Akibatnya, karyawan memilih diam, berpura-pura kuat, lalu perlahan tumbang dalam diam. Tempat kerja tak memberi ruang aman untuk jujur, justru menuntut performa maksimal tanpa mempedulikan isi kepala dan hati.

Budaya kerja semacam ini tak hanya menekan secara emosional, tapi juga bisa menciptakan efek domino: burnout, depresi, hingga kehilangan rasa percaya diri. Padahal, ketika seseorang diberi ruang untuk merasa dan pulih, produktivitas justru cenderung meningkat.

Namun sayangnya, pemahaman ini masih belum banyak ditemui dalam kebijakan perusahaan. HR sering kali lebih fokus pada cuti tahunan dan laporan absen, ketimbang membuka diskusi soal kesehatan mental sebagai isu strategis organisasi.

Luka Psikologis Tidak Terlihat, Tapi Berdampak Nyata

Berbeda dari patah kaki atau demam tinggi, gangguan mental tak bisa diukur dengan termometer atau rontgen. Ini yang membuat banyak orang bahkan sesama rekan kerja tidak bisa atau enggan memahami kondisi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun