Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Caranya Bertahan Ditengah Gejolak Ekonomi

17 Mei 2025   15:09 Diperbarui: 17 Mei 2025   15:09 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Membuat Perencanaan Keuangan.(SHUTTERSTOCK/EGGEEGG) 

Bayangkan kamu baru saja gajian, tapi uang itu hanya cukup untuk membayar tagihan listrik, cicilan motor, dan kebutuhan dapur selama satu minggu. Sisanya? Entah dari mana akan datang. Situasi seperti ini bukan cerita langka. Faktanya, jutaan orang di Indonesia merasakannya setiap hari. Dan inilah kenyataan ekonomi kita hari ini kita seperti berjalan di atas tali yang rapuh sambil menyeimbangkan beban hidup yang semakin berat.

Di tengah badai inflasi, ketidakpastian pekerjaan, dan ancaman resesi global, bertahan bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Namun, bertahan bukan sekadar mengencangkan ikat pinggang atau memangkas jajan kopi susu. Kita butuh cara berpikir baru, cara hidup baru, dan strategi yang tidak hanya reaktif tapi juga reflektif. 

Gejolak Ekonomi Itu Nyata Tapi Kenapa Dampaknya Tidak Merata?

Satu hal yang jarang dibahas secara jujur adalah bagaimana dampak krisis ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh semua kalangan. Bukan cuma soal siapa kaya dan siapa miskin, tapi soal siapa yang bisa beradaptasi dan siapa yang terjebak dalam sistem yang tidak berpihak.

Kamu bisa lihat sendiri, saat harga pangan melonjak, yang paling terdampak bukanlah pemilik restoran mewah, tapi pedagang kaki lima yang omzetnya langsung turun karena pelanggan berfikir ulang untuk membeli sesuatu. Ketika biaya pendidikan naik, yang paling kesulitan adalah keluarga buruh harian, bukan eksekutif muda yang bisa membayar kursus tambahan untuk anaknya. Ini bukan sekadar perbedaan kelas, tapi siapa yang kuat.

Sayangnya, sebagian besar kebijakan ekonomi masih berpijak pada pendekatan makro yang kurang menyentuh lapisan paling rentan. Padahal, di kalangan ini krisis paling terasa. Fakta dari data Badan Pusat Statistik lebih dari 40% penduduk Indonesia masuk dalam kategori menengah tetapi mereka berada di titik hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Artinya, satu guncangan saja entah kehilangan pekerjaan, sakit mendadak, atau inflasi bulanan bisa langsung menghempas mereka jatuh ke bawah garis itu.

Itulah kenapa, sebelum bicara strategi bertahan, kita perlu memahami bahwa tidak semua orang memulai dari titik yang sama. Kesadaran ini penting untuk membangun strategi yang lebih inklusif dan relevan dengan realitas di lapangan.

Bertahan Bukan Cuma Tentang Uang

Dalam banyak pembicaraan soal krisis ekonomi, fokus utama selalu uang. Tidak dipungkiri uang memang penting. Tapi bertahan di tengah gejolak ekonomi tidak melulu soal seberapa banyak kamu punya di rekening. Yang lebih penting justru bagaimana kamu mempersepsikan perubahan dan mengambil keputusan di dalamnya.

Perubahan besar dalam ekonomi global maupun lokal bisa sangat memukul secara mental. Ketidakpastian membuat banyak orang kehilangan arah, dan tanpa pegangan psikologis yang kuat, mereka mudah menyerah. Inilah yang sering luput dibahas: kesehatan mental dalam menghadapi tekanan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun