Di sela gemuruh notifikasi, update status, dan video berdurasi 15 detik, ada satu pertanyaan besar yang perlu kita jawab hari ini yaitu seberapa sadar sebenarnya remaja Indonesia terhadap apa yang mereka konsumsi dan sebarkan di dunia maya?
Kita hidup di era di mana informasi tidak lagi datang dalam bentuk halaman koran atau buku setebal bantal, tapi mengalir deras lewat layar smartphone. Di tangan generasi muda yang bisa membuka lima aplikasi sekaligus sambil mendengarkan musik terletak kekuatan luar biasa. Tapi, apakah kekuatan itu dibarengi dengan kebijaksanaan?
Remaja dan Kebiasaan Konsumsi Informasi yang Tak Tersaring
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun terakhir menyebutkan bahwa lebih dari 90% pengguna internet di rentang usia 13–19 tahun adalah pengguna aktif media sosial. Mereka menghabiskan rata-rata 4 hingga 6 jam sehari di dunia maya. Dari sini saja kita bisa melihat bahwa remaja Indonesia bukan hanya konsumen informasi mereka juga sebagai produsen.
Tapi di sinilah letak bahayanya. Banyak dari mereka yang belum benar-benar dibekali kemampuan untuk menyaring mana yang fakta, mana yang fiksi, mana yang opini, dan mana yang manipulasi. Mereka terbiasa mengonsumsi informasi dalam bentuk visual yang cepat dan menarik, tapi tidak diajarkan bagaimana menilai kredibilitas informasi itu sendiri.
Tanpa pemahaman terhadap literasi media, mereka menjadi sasaran empuk clickbait, hoaks, bahkan propaganda politik. Bukan karena mereka malas berpikir, tapi karena tak pernah diajarkan caranya. Sistem pendidikan kita masih terlalu sibuk mengejar angka ujian, tanpa memberi ruang untuk membedah bagaimana media bekerja, bagaimana algoritma membentuk preferensi, dan bagaimana informasi bisa menipu.
Ketika Etika Digital Tidak Dikenal Sejak Dini
Di dunia nyata, kamu diajarkan untuk tidak menyela orang saat bicara, tidak menyebarkan gosip, dan tidak mengganggu privasi orang lain. Tapi di dunia digital, semua batas itu tidak ada . Bahkan, sering kali dianggap tidak berlaku. Remaja bisa dengan mudah menyebarkan foto temannya tanpa izin, berkomentar kasar di kolom publik figur, atau menyebarkan informasi pribadi orang lain hanya demi “konten”.
Fenomena ini muncul karena rendahnya pemahaman tentang etika digital. Ini bukan sekadar soal sopan santun, tapi soal tanggung jawab dan kesadaran akan hak orang lain di ruang digital. Banyak remaja yang tidak menyadari bahwa sekali mereka menekan tombol “bagikan”, dampaknya bisa menyebar jauh dan bertahan selamanya di dunia maya.
Sebagian dari mereka bahkan menjadikan pelanggaran etika sebagai hiburan. Video bullying, prank berbahaya, hingga konten yang mengeksploitasi emosi orang lain dianggap “seru”. Ini menunjukkan bahwa etika digital tidak cukup hanya diajarkan lewat slogan atau peringatan, tapi harus menjadi bagian dari budaya berpikir.