Bayangkan kamu duduk di sebuah ruang kelas. Di sekitarmu, teman-teman belajar dengan antusias, berdiskusi dengan guru, mencatat ide-ide baru. Tapi kamu tak mendengar apa pun. Tak satu pun suara. Kamu mencoba membaca gerak bibir guru, tapi materinya sudah terlampau cepat. Saat itu, kamu tahu kamu hadir, tapi tidak benar-benar dianggap ada.
Beginilah banyak siswa difabel menjalani hari-hari di ruang belajar yang dibangun bukan untuk mereka. Pendidikan inklusif, yang selama ini digaungkan sebagai solusi, nyatanya masih jadi wacana yang lebih sering tertulis di kertas kebijakan ketimbang diterapkan di lapangan. Tulisan ini mencoba memutar arah pandangmu. Bukan dari soal bangunan sekolah yang tak ramah, atau minimnya guru yang terlatih. Tapi dari sesuatu yang lebih dalam diamnya sistem yang tak pernah sungguh-sungguh mendengar suara mereka.
Normal Adalah Standar yang Membungkam
Salah satu masalah paling mendasar dalam sistem pendidikan kita adalah konsep "normal". Kata ini tampak netral, tapi sesungguhnya sangat kejam. Standar normal dalam pendidikan dirancang untuk mayoritas yang bisa mendengar, melihat, berjalan, memahami pelajaran dengan cepat, dan duduk diam selama 6 jam. Siapa pun yang tidak memenuhi standar ini dianggap bermasalah padahal tidak ada yang salah dengan mereka hanya keadaan unik mereka memaksa mereka tersingkir dari standar yang dibuat.
Di sinilah letak kekeliruan paling fatal ketika kita memaksakan satu ukuran untuk semua anak. Akibatnya, siswa difabel terjebak dalam sistem yang tidak pernah ditujukan untuk mereka. Kurikulum tidak dirancang agar fleksibel bagi anak dengan hambatan kognitif. Evaluasi pembelajaran tidak mempertimbangkan kemampuan berbeda. Bahkan, buku pelajaran pun tidak tersedia dalam format braille atau audio di sebagian besar sekolah umum.
Yang terjadi bukanlah sekadar ketertinggalan belajar. Tapi pengasingan psikologis. Setiap hari mereka diingatkan bahwa mereka "berbeda", dan perbedaan itu harus ditanggung sendirian.
Pendidikan Inklusif yang Terlalu Sering Salah Dimengerti
Seringkali, istilah pendidikan inklusif dipahami secara sempit sebagai "memasukkan anak difabel ke sekolah umum". Tapi jika kehadiran mereka tidak dibarengi dengan perubahan sistemik, yang terjadi hanya pemindahan ruang keterpinggiran dari SLB ke sekolah umum.
Inklusi bukan soal menempatkan semua orang di ruang yang sama, tapi menciptakan ruang yang bisa menyesuaikan diri terhadap siapa pun yang ada di dalamnya. Inklusif berarti fleksibel. Tapi sistem kita justru sangat kaku. Misalnya, alokasi jam pelajaran dan sistem ujian nasional yang sama rata untuk semua anak, tanpa memperhitungkan kebutuhan individual.
Data dari Kemdikbudristek menunjukkan bahwa hanya sekitar 18% guru di sekolah umum yang pernah mengikuti pelatihan pendidikan inklusif. Artinya, sebagian besar guru masih mengajar dengan pendekatan "satu arah untuk semua". Maka jangan heran jika banyak siswa difabel akhirnya mengalami gagal sekolah, bukan karena tak mampu, tapi karena tak pernah diberikan metode belajar yang sesuai.