Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan untuk Kaum Difabel Apa Hanya Mimpi?

7 Mei 2025   11:01 Diperbarui: 7 Mei 2025   11:01 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah.(Freepik/master1305)

Bayangkan kamu duduk di sebuah ruang kelas. Di sekitarmu, teman-teman belajar dengan antusias, berdiskusi dengan guru, mencatat ide-ide baru. Tapi kamu tak mendengar apa pun. Tak satu pun suara. Kamu mencoba membaca gerak bibir guru, tapi materinya sudah terlampau cepat. Saat itu, kamu tahu kamu hadir, tapi tidak benar-benar dianggap ada.

Beginilah banyak siswa difabel menjalani hari-hari di ruang belajar yang dibangun bukan untuk mereka. Pendidikan inklusif, yang selama ini digaungkan sebagai solusi, nyatanya masih jadi wacana yang lebih sering tertulis di kertas kebijakan ketimbang diterapkan di lapangan. Tulisan ini mencoba memutar arah pandangmu. Bukan dari soal bangunan sekolah yang tak ramah, atau minimnya guru yang terlatih. Tapi dari sesuatu yang lebih dalam diamnya sistem yang tak pernah sungguh-sungguh mendengar suara mereka.

Normal Adalah Standar yang Membungkam

Salah satu masalah paling mendasar dalam sistem pendidikan kita adalah konsep "normal". Kata ini tampak netral, tapi sesungguhnya sangat kejam. Standar normal dalam pendidikan dirancang untuk mayoritas yang bisa mendengar, melihat, berjalan, memahami pelajaran dengan cepat, dan duduk diam selama 6 jam. Siapa pun yang tidak memenuhi standar ini dianggap bermasalah padahal tidak ada yang salah dengan mereka hanya keadaan unik mereka memaksa mereka tersingkir dari standar yang dibuat.

Di sinilah letak kekeliruan paling fatal ketika kita memaksakan satu ukuran untuk semua anak. Akibatnya, siswa difabel terjebak dalam sistem yang tidak pernah ditujukan untuk mereka. Kurikulum tidak dirancang agar fleksibel bagi anak dengan hambatan kognitif. Evaluasi pembelajaran tidak mempertimbangkan kemampuan berbeda. Bahkan, buku pelajaran pun tidak tersedia dalam format braille atau audio di sebagian besar sekolah umum.

Yang terjadi bukanlah sekadar ketertinggalan belajar. Tapi pengasingan psikologis. Setiap hari mereka diingatkan bahwa mereka "berbeda", dan perbedaan itu harus ditanggung sendirian.

Pendidikan Inklusif yang Terlalu Sering Salah Dimengerti

Seringkali, istilah pendidikan inklusif dipahami secara sempit sebagai "memasukkan anak difabel ke sekolah umum". Tapi jika kehadiran mereka tidak dibarengi dengan perubahan sistemik, yang terjadi hanya pemindahan ruang keterpinggiran dari SLB ke sekolah umum.

Inklusi bukan soal menempatkan semua orang di ruang yang sama, tapi menciptakan ruang yang bisa menyesuaikan diri terhadap siapa pun yang ada di dalamnya. Inklusif berarti fleksibel. Tapi sistem kita justru sangat kaku. Misalnya, alokasi jam pelajaran dan sistem ujian nasional yang sama rata untuk semua anak, tanpa memperhitungkan kebutuhan individual.

Data dari Kemdikbudristek menunjukkan bahwa hanya sekitar 18% guru di sekolah umum yang pernah mengikuti pelatihan pendidikan inklusif. Artinya, sebagian besar guru masih mengajar dengan pendekatan "satu arah untuk semua". Maka jangan heran jika banyak siswa difabel akhirnya mengalami gagal sekolah, bukan karena tak mampu, tapi karena tak pernah diberikan metode belajar yang sesuai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun