Kamu pasti sudah mengenal apa itu Bank Digital dan menjadi salah satu penggunanya. Zaman sekarang Bank digital bukan lagi sekadar alternatif, tapi mulai menjelma menjadi gaya hidup. Dari urusan transfer uang, buka rekening, investasi, sampai ambil pinjaman, semua bisa dilakukan dari satu aplikasi di ponsel dalam genggaman tangan. Praktis? Jelas. Tapi ada pertanyaan besar yang seringkali terlewat atau bahkan sengaja dihindari adalah  seiring kamu mempercayakan hidup finansial ke sistem digital, seberapa besar kamu tahu dan mengerti soal risikonya?
Banyak yang terlena dengan kenyamanan tanpa menyadari bahwa kepercayaan itu punya harga. Dan harga itu bernama keamanan transaksi. Ketika data pribadi jadi komoditas dan scam berkembang lebih cepat dari regulasi, seharusnya kita semua berhenti sebentar, menoleh, dan mulai bertanya ulang apa benar semua ini aman?
Kamu Punya Akun Bank Digital, Tapi Siapa yang Punya Datamu?
Yang menarik dari bank digital adalah ilusi kontrol yang mereka berikan. Kamu merasa mengontrol semua keuanganmu lewat satu aplikasi, padahal di balik itu, data pribadimu mengalir ke banyak sistem yang tidak selalu kamu kenal. Mulai dari nama, nomor KTP, NPWP, alamat rumah, lokasi GPS, sampai kebiasaan belanja semuanya dikumpulkan, diolah, dan sering kali dibagikan ke pihak ketiga. Tanpa kamu sadari, data kamu jadi bagian dari ekosistem bisnis yang sangat besar.
Hal yang jarang disorot adalah bagaimana bank digital mengandalkan sistem cloud pihak ketiga, sering kali milik perusahaan global, untuk menyimpan datamu. Artinya, kontrol terhadap data itu tidak sepenuhnya berada di tangan bank yang kamu percaya. Apalagi, tidak semua bank digital punya sistem keamanan siber yang sekelas dengan bank konvensional besar.
Ini celah besar. Karena saat data kamu bisa aja bocor atau dijual ke pasar gelap, kamu nggak akan pernah tahu sampai scammer tiba-tiba menelpon, mengaku dari "bank", menyebutkan detail yang hanya kamu pikir kamu dan bank yang tahu.
Scam dan Rekayasa Sosial Musuh Terbesar Ada di Kepala Kamu
Masalah terbesar dalam keamanan bank digital bukan cuma soal firewall atau enkripsi, tapi soal psikologi manusia. Scam atau penipuan digital berkembang karena memanfaatkan kelemahan terbesar kita yaitu rasa percaya dan ketidaktahuan.
Serangan siber modern sudah jarang lewat cara "meretas sistem" seperti film-film Hollywood. Sekarang, serangan lebih sering datang lewat rekayasa sosial memanipulasi emosi dan logika korban untuk secara sukarela memberikan informasi atau akses. Misalnya, kamu ditelepon oleh "petugas bank" yang tahu namamu, sisa saldo, dan transaksi terakhir, lalu mereka bilang ada aktivitas mencurigakan dan kamu harus segera verifikasi lewat kode OTP. Tanpa sadar, kamu justru membuka pintu untuk pencuri masuk.
Menurut laporan BI dan OJK, kasus penipuan digital meningkat hampir 40% dalam dua tahun terakhir, dan lebih dari 70% di antaranya disebabkan oleh kelengahan pengguna itu sendiri, bukan karena sistem. Artinya, kamu adalah titik terlemah dalam sistem keamanan itu sendiri.