Sudah menjadi hal yang jamak di mana K-ners mensyukuri keberadaan dan pencapaian mereka selama bergabung di Rumah Kompasiana. Sekian bulan atau sekian tahun di Kompasiana, mengucap syukur. Sekian banyak artikel sudah dipublikasikan, bersyukur. Ulang tahun kelahiran/perkawinan, bersyukur...dst.
Celakanya, saya sendiri hampir lupa bersyukur kalau sudah hampir empat bulan berada di Kompasiana, dan rupanya sudah naik pangkat menjadi Taruna.
Semua gara-gara keasyikan mengikuti kisah kehidupan Poltak dkk yang ada di Kampung Panatapan sana. Aksi mereka adu kuat melawan kerbau, berburu puyuh liar sampai dengan pantat mereka yang bebirat merah disabet rotan gara-gara lalai ketika menggembalakan anak kerbau, merupakan beberapa kisah yang membuat saya terlena sampai lupa bersyukur.
Ah....memang jahat kali lah kau ni Poltak sampai buat orang lupa bersyukur.
Sekarang Poltak, ijinkan si anak peladang ini untuk sejenak menuangkan refleksinya atas rasa syukur dan terima kasihnya karena sudah menjadi seorang Taruna.
***
 "Bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, tapi selalu bersyukurlah yang membuat kita bahagia".
Barangkali kita pernah menjumpai teman-teman kita memasang quote di atas sebagai status di FB, WA, IG mereka. Atau barangkali kita sendiri pernah melakukannya?
Sepintas kutipan tersebut indah dan mengena. Jujur, saya sendiri masih belum mampu mencerna apa yang dimaksud oleh pencetus kutipan ini, terlebih ketika membaca kalimat petama. Memangnya apa yang salah dengan menjadi bahagia? Apakah bahagia itu dilarang?
Jika bahagia itu memang salah dan dilarang, betapa kita akan menjalani kehidupan dalam ketakutan. Sebab pasti akan ada orang yang turun ke jalan-jalan, berkeliling dari rumah ke rumah untuk melenyapkan orang-orang yang mereka pandang sudah hidup bahagia.