Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kearifan Berladang Suku Dayak: Harmoni antara Tuhan, Manusia, dan Alam

5 Juli 2020   00:48 Diperbarui: 6 Juli 2020   10:28 3220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga sedang menanam padi (nugal) di ladang. (dokpri)

Bahwa aktivitas berladang adalah sebagai usaha menjaga keharmonisan dapat dilihat dari proses perladangan itu sendiri. Untuk diketahui, setidaknya ada 9 tahap yang harus dilalui dalam sistem perladangan suku Dayak:

1) memilih lokasi, 2) menebas lahan, 3) menebang pepohonan, 4) membakar lahan, 5) mengumpulkan dan membakar kayu-kayu sisa pembakaran, 6) menanam, 7) menyiangi rumput, 8) memanen dan 9) pesta syukur atas hasil panen.

Dalam usaha masyarakat Dayak menciptakan dan menjaga keharmonisan dengan Tuhan, sesama dan alam, kesembilan tahap di atas merupakan satu rangkaian utuh dan tak terpisahkan.

Dari kesembilan tahap itu, tiga tahap di antaranya menonjolkan dengan jelas usaha masyarakat  dalam menciptakan dan menjaga keharmonisan, yakni memilih lokasi, menamam padi dan pesta syukur atas hasil panen.

Dalam proses membuka lahan, ada sebuah ritual yang biasa dilakukan warga. Dalam ritual ini, warga akan membuat patung dari kayu (pentik/pantak), pengusiran roh-roh jahat/pembersihan lahan (bekibau) dan pemberian makan/sesajen (pegelak/bedarak).

Sesudah pentik dibuat, lalu ayam dikibaskan di atas lahan (bekibau) sambil membaca mantra. Seperti ini bunyi mantranya:

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,...Kami ini mau bekerja, menebas-menebang di sini. Kami mohon berkat, kami minta selamat, agar jangan disimbat ranting kasar, ditimpa kayu besar, terluka pisau simpai, tertimpa kapak bertangkai. Kalau ada yang mau mengacau, kibas dengan sayap, libas dengan ekor, tabrak dengan tubuh, remuk dengan paruh, matikan dengan taji" (Valentinus, "Adat Pelestarian Hutan" dalam Minum Dari Sumber Sendiri, Dari Alam Menuju Tuhan, ed. Benny Phang & Valentinus).

Tujuan dari ritual ini tak lain ialah permohonan izin kepada Puyang Gana, sang Penguasa tanah, kalau mereka akan berladang di lokasi tersebut.

Demikian juga dalam proses menanam padi. Petani tentu mengharapkan agar benih yang akan mereka tanam bisa tumbuh subur agar menghasilkan panenan yang berlimpah. Untuk itu, ritual kembali menjadi unsur yang sangat penting dalam proses ini.

Sebelum mulai menanam (nugal) warga akan berkumpul di suatu tempat. Ritual dipimpin oleh kepala keluarga yang empunya ladang atau yang mewakili. Pemimpin ritual pertama-tama memukulkan bambu ke tanah sebagai tanda memanggil Puyang Gana sambil mengucapkan kata-kata berikut:

O Puyang Gana
Lihatlah kami mau nanam.
Kami mohon padi kami bagus,
masa depan kami senang,
hidup kami nyaman

Benih-benih yang akan ditanam lalu diperciki dengan darah ayam. Pemercikan dengan darah adalah tanda bahwa benih-benih itu sudah diberkati dan siap untuk ditabur. Ritual kemudian dilanjutkan dengan membuat pegelak (sesajen).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun