Siang 20 September 2025, terlihat siswa Kanisius berlarian membawa barang dengan tergesa-gesa melewati selasar yang ramai, berdiskusi dengan serius bersama guru pendamping, juga menyiapkan perlengkapan perlombaan. Itulah CC Cup XL 2025, ajang perlombaan yang melibatkan 214 sekolah, lebih dari 1.400 panitia, serta anggaran mencapai Rp2,3 miliar. Bagi banyak siswa, ajang ini bukan sekadar kompetisi, melainkan ruang berproses dan membentuk karakter. Seperti disampaikan Kevan, Ketua Umum CC Cup (20/09), "Harapannya, CC Cup bisa senantiasa melayani siswa-siswi dalam ajang perlombaan dan Kanisian dalam berproses." Lebih dari itu, CC Cup menjadi wadah nyata bagi pemuda untuk belajar bersuara, mengekspresikan gagasan, hingga melatih sikap kritis dalam menghadapi dinamika sosial, sebagaimana tuntutan generasi muda di ruang publik Indonesia saat ini
Jejak Enam Tahun dan CC Cup Terakhir
CC Cup XL 2025 menjadi penanda penting bagi saya, bukan hanya karena ia adalah acara terbesar Kolese Kanisius, tetapi juga karena ini adalah CC Cup terakhir yang saya jalani sebagai siswa. Enam tahun lamanya saya hidup di lingkungan ini, enam kali pula saya menyaksikan wajah CC Cup berubah mengikuti zamannya, dengan pemimpin yang berbeda, panitia yang berputar, dan energi yang tidak pernah padam. Saya masuk sebagai peserta kecil, lalu perlahan naik peran menjadi koordinator lomba, hingga akhirnya dipercaya sebagai kepala bidang kebendaharaan yang mengatur keluar-masuknya dana acara sebesar dua miliar rupiah.
Di atas kertas, mungkin ini hanya catatan organisasi biasa. Tetapi realitasnya jauh lebih rumit. Mengurus anggaran sebesar itu berarti menanggung beban kepercayaan yang tidak ringan. Kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Saya belajar bahwa tanggung jawab bukan sekadar soal laporan yang rapi, melainkan juga kesanggupan untuk memegang amanah di bawah tekanan.
CC Cup bukan sekadar tentang siapa yang menang di lapangan, tetapi tentang siapa yang berani ditempa oleh tanggung jawab
Kawah Candradimuka
Partisipasi 214 sekolah undangan, melibatkan lebih dari 1.400 panitia, serta menghabiskan anggaran 2,3 miliar rupiah menjadikan CC Cup ajang yang sering dipandang terlalu megah, bahkan ada yang menyebut tidak efisien. Tetapi saya justru melihatnya dari sisi lain: acara sebesar ini adalah ruang belajar yang tidak pernah bisa diajarkan buku pelajaran. Kanisian dipaksa untuk bekerja sama dengan vendor, sponsor, hingga aparat kepolisian. Kami diajak bernegosiasi, menandatangani perjanjian formal, menghadapi konflik internal, dan tetap menjaga semangat di tengah kelelahan. Semua itu melatih kami, bukan hanya untuk pintar mengatur acara, tetapi juga untuk mengenali potensi diri dan keterbatasan kami.
Thomas Lickona (1991) menuliskan bahwa pendidikan karakter bukan hanya tentang mengetahui yang baik, tetapi juga mencintai yang baik, dan pada akhirnya melakukan yang baik. Hal itulah fondasi pemikiran dan pandangan saya terhadap CC Cup yang berfungsi sebagai laboratorium nyata. Bahwa karakter tidak dibentuk lewat teori semata, tetapi lewat pengalaman yang membuat kita jatuh bangun, merasakan sulitnya memimpin, sekaligus indahnya bekerja sama.
Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apa gunanya semua ini jika saya hanya berhenti pada sekadar "panitia acara"? Bukankah yang lebih penting adalah bagaimana pengalaman ini membekali saya menghadapi dunia luar, tempat suara saya sebagai pemuda dituntut lebih keras?
CC Cup menjadi salah satu ruang penting untuk mengasah sikap kritis pemuda dalam menghadapi dinamika nyata yang tidak selalu berjalan mulus. Ketika terjadi kerusuhan kecil di tengah pertandingan bola, panitia dituntut untuk tidak larut dalam emosi, melainkan berpikir jernih dan cepat mencari solusi. Â Apakah perlu menghentikan sementara pertandingan, berkomunikasi dengan wasit, atau menenangkan penonton agar situasi kembali kondusif? Di momen-momen seperti itu, kami sebagai pemuda belajar untuk mempertimbangkan dampak setiap keputusan, memilah mana yang lebih tepat untuk kepentingan bersama, serta berani mengambil sikap meskipun penuh risiko. Pengalaman konkret semacam ini menanamkan keterampilan berpikir kritis yang tidak sekadar teoritis, tetapi lahir dari tantangan langsung di lapangan, membentuk pemuda yang tangguh dan matang dalam menghadapi persoalan sosial yang lebih luas di luar sekolah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!