Mohon tunggu...
Panji Hadisoemarto
Panji Hadisoemarto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nama saya Panji. Lahir di Bandung tahun 1979. Sedang belajar tentang kesehatan masyarakat global di Harvard University.\r\n\r\nhttp://panjifortuna.jimdo.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bahaya Vaksinasi yang Harus Kita Waspadai

22 Mei 2012   15:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:58 8021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pro dan kontra vaksinasi di Indonesia sepertinya tidak akan pernah ada habisnya. Ada sebagian orang yang pro, ada sebagian lagi yang kontra. Oh, well, namanya juga pro dan kontra. Sejak Edward Jenner membakukan metode variolisasi menjadi vaksinasi di akhir abad ke-18, pro dan kontra seperti ini sudah ada. Semakin besar ‘gerakan’ vaksinasi, semakin besar juga ‘gerakan’ anti-vaksinasi, dan ini berlaku di seluruh bagian dunia yang mempraktekkan vaksinasi. Menurut saya ini seperti aksi-reaksi saja, jadi saya tidak terlalu berharap pro-kontra ini akan menghilang, setidaknya sampai vaksinasi memang tidak diperlukan lagi.

Karikatur ‘monster vaksinasi’. Terbit di tahun 1807 di Inggris sebagai reaksi terhadap gerakan vaksinasi masal di negara tersebut. Pro-kontra vaksinasi bukanlah hal yang baru

Yang menurut saya menarik, dan mendorong saya menulis blog ini, adalah polarisasi yang sangat kuat antara kelompok pro dan kelompok kontra. Saking kuatnya, nampaknya masing-masing kelompok ini punya kebenarannya sendiri-sendiri. Dari kelompok pro, vaksin itu nampak seperti obat dewa, semuanya baik. Sedangkan yang untuk yang anti, vaksin itu seperti obat setan, semuanya buruk. Terlepas dari sudut pandang yang dipakai, apakah itu ilmiah, politik atau syariah, saya rasa kedua kutub ini sudah bersikap tidak adil dalam menyampaikan informasi seputar keamanan vaksinasi. Saya, yang sangat pro dengan program vaksinasi, sampai sekarang masih berusaha mencari cara untuk mengajak saudara-saudara kita, baik itu yang ‘ahli’ maupun yang ‘awam’, untuk menempatkan informasi seputar vaksin secara tepat dan berimbang. Kita semua harus terbuka dan terdidik untuk menimbang-nimbang manfaat dan kerugian vaksinasi karena, faktanya, memang ada manfaat DAN kerugian dari program vaksinasi.  Tidak bisa yang satu kita tolak dan yang lain kita terima begitu saja. Jadilah penganut dan pembuat program vaksinasi yang kaffah, begitulah kira-kira. Saya ambil contoh kasus yang perlu kita semua, kelompok pro dan kontra, teladani. John Salamone adalah ayah dari David, yang menderita kelumpuhan setelah memperoleh vaksin polio oral di saat David berusia 5 bulan di tahun 1990. Faktanya, virus hidup yang terdapat di dalam vaksin polio oral memang dapat berubah menjadi ganas dan mengakibatkan kelumpuhan. Reverse virulence, istilahnya, memang hanya terjadi pada satu dari 2-5 juta dosis vaksin yang diberikan, tapi adalah satu risiko yang nyata dari vaksinasi. Utamanya sangat nyata bagi John Salamone dan anaknya, David. Lalu, apa yang John Salamone lakukan? Dengan berbekal riset mengenai keuntungan dan kerugian vaksinasi, John Salamone memulai sebuah kampanye untuk menggantikan vaksin polio oral dengan vaksin polio inaktif. Suntikan vaksin polio inaktif memang tidak mengandung virus hidup sehingga tidak dapat menyebabkan kelumpuhan. Melalui kampanye ini, John Salamone dan pendukungnya ingin memastikan bahwa generasi mendatang tetap bisa terbebas dari polio tanpa harus khawatir terkena polio akibat vaksinasi yang dilakukan. Di tahun 1996, kampanye tersebut membuahkan hasil dan Amerika secara resmi meninggalkan vaksin polio oral dan mengadopsi penggunaan vaksin polio inaktif. Faktanya, Indonesia pun harus, atau mungkin sedang, memikirkan cara terbaik untuk beralih ke vaksin polio inaktif. Mau tidak mau, memang inilah skenario end-game polio: semakin sedikit jumlah kasus polio alami, semakin merugikan penggunaan vaksin polio oral, semakin mendesak penggunaan vaksin polio inaktif. Sebagai pendukung gerakan vaksinasi, saya tidak mengatakan bahwa anak Anda sebaiknya tidak divaksinasi polio, lho. Saya rasa secara statistik, sekali lagi ini statistik, keuntungan vaksinasi polio masih lebih besar dari kerugiannya, dan kemungkinan efek samping berat seperti disebutkan di atas teramat sangat kecil. Tapi kalau Anda mau aman dan tetap bijaksana dengan melindungi anak Anda dari polio, Anda bisa beralih ke vaksin polio inaktif. Anda harus membayar, tentunya. Selain reverse virulence, bahaya apa lagi yang terkait dengan vaksin, dan secara ilmiah memang sudah terbukti? Berapa besar risiko kejadiannya? 1. Seekor kuda bernama Jim Kuda? Ya, kuda bukan sembarang kuda, tapi kuda bernama Jim. Jim telah menyelamatkan hidup banyak orang dengan “menyumbangkan’ serumnya untuk memproduksi vaksin difteri. Namun demikian, di akhir kariernya sebagai pahlawan kesehatan masyarakat (di tahun 1901, tepatnya) Jim terserang tetanus dan akhirnya mati. Di dalam perjalanan penyakit tetanusnya, serum yang diambil dari Jim juga telah dipakai untuk memvaksinasi anak. Setidaknya 12 kasus kematian dapat dikaitkan dengan kontaminasi toksin tetanus pada serum Jim.

Jim, sang kuda yang telah menhasilkan berliter-liter vaksin.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya proses produksi vaksin untuk menjaga kemurnian vaksin. Terima kasih kepada Jim, dan anak-anak yang menjadi korban Jim, di tahun 1906 badan Food and Drugs Administration (FDA) didirikan untuk menjamin keamanan vaksin, dan juga tentunya produk farmasi lain. Keamanan vaksin pada umumnya terjamin karena tidak ada vaksin yang dapat lolos ke tahap marketing jika terbukti tidak aman dan tidak memperoleh lisensi dari FDA. Namun demikian pengecualian tetap ada seperti pada kasus-kasus berikutnya. - - 2. The Cutter incident Lagi-lagi polio. Musim semi 1955 di Amerika, tercatat peningkatan kasus polio ringan (tanpa kelumpuhan) pasca penyuntikan vaksin polio inaktif, selengkapnya: 94 anak yang mendapat vaksin, 126 kontak anggota keluarga dan  40 kontak anggota masyarakat. Hasil penelusuran epidemiologis menunjukkan semua penerima vaksin adalah sebagian dari sekitar 40 ribu anak yang memperoleh vaksin dari satu batch yang sama yang diproduksi oleh perusahaa vaksin Cutter Laboratories. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa sebagian vaksin di dalam batch tersebut masih memiliki virus yang aktif. Namun demikian, Cutter Laboratories ternyata tidak terbukti melakukan kelalaian di dalam proses produksi vaksin; seluruh prosedur yang distandarkan telah dipatuhi sepanjang proses produksi. Dengan kata lain, standar yang berlaku saat itu tidak cukup baik untuk memastikan keamanan vaksin yang memadai dan standar baru yang mengharuskan produsen vaksin untuk memeriksa keberadaan virus aktif di berbagai tahap produksi vaksin polio pun dikeluarkan. Kita bisa mengambil hikmah dari insiden ini bahwa: standar yang berlaku belum tentu memadai. Keamanan produk vaksin harus terus berada di bawah pengawasan ketat, bahkan setelah vaksin tersebut memperoleh lisensi untuk diperdagangkan. 3. Vaksin flu babi dan sindroma Guillain-Barre (GBS), vaksin rotavirus dan intususepsi Ini bukan flu babi tahun 2009 yang lalu, tapi yang terjadi di tahun 1976. Kurang lebih sama dengan pandemi flu di tahun 2009 yang lalu, flu babi yang beredar di tahun 1976 pun menyebabkan pandemik dan, sebagai tindak lanjutnya, program vaksinasi pun dijalankan. Namun demikian, hasil surveilans menunjukkan peningkatan kejadian sindroma Gullain-Barre, keadaan yang ditandai dengan kelemahan otot bahkan kelumpuhan, pasca dilakukannya progra vaksinasi tersebut. Para ahli masih bersilang pendapat mengenai sebesar apa peningkatan risiko GBS pasca vaksinasi influenza di tahun 1976, terlebih lagi masalah mekanisme terjadinya GBS pasca vaksinasi tersebut. Yang jelas, program vaksinasi flu babi di tahun 1976 dihentikan akibat peningkatan risiko terjadinya GBS. Pada pandemi influenza 2009, kekhawatiran akan terulangnya kejadian tahun 1976 masih menghantui. Namun demikian, menimbang kerugian yang mungkin terjadi jika program vaksinasi TIDAK dilaksanakan, program vaksinasi masal tetap dilakukan di berbagai belahan dunia. Surveilans ketat dilakukan untuk mengantisipasi peningkatan kasus GBS dan sampai sejauh ini tidak terdapat laporan kasus GBS pasca vaksinasi flu babi 2009.

Intususepsi.

Vaksin lain, Rotarix untuk pencegahan infeksi rotavirus, dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya intususepsi. Intususepsi adalah masuknya sebagian usus ke dalam bagian usus disebelahnya (seperti teleskop yang dipendekkan). Karena peningkatan kasus intususepsi yang dilaporkan sangat kecil dan tidak sepenuhnya konsisten (tidak semua laporan menunjukkan peningkatan risiko), vaksinasi rotavirus tidak distop atau dilarang. Walaupun demikian, untuk keamanan, vaksin rotavirus yang dimaksud dikontraindikasikan (=tidak boleh dipakai) oleh anak yang mempunyai riwayat instususepsi. Kedua contoh ini kembali menunjukkan bahwa walaupun faktor keamanan vaksin selalu dan akan selalu menjadi perhatian utama di dalam proses produksi, beberapa efek samping baru terdeteksi setelah vaksin tersebut digunakan dalam jumlah yang sangat besar, dan itulah fungsi dari post-marketing surveillance: meng-update informasi mengenai keamanan vaksinasi. Masyarakat dan pemerintah harus sama-sama obyektif dalam menyikapi informasi efek samping vaksinasi dan menggunakan informasi tersebut untuk sebaik-baiknya kepentingan orang banyak. 4. Perverse effect dari vaksinasi Saya tidak tahu pasti bagaimana menerjemahkan perverse effect menjadi istilah bahasa Indonesia yang tepat. Singkatnya, program vaksinasi bisa menghasilkan outcome yang justru merugikan orang banyak, terlepas dari keamanan vaksin tersebut. Maksud saya begini, walaupun vaksin tersebut aman untuk digunakan, tidak mengakibatkan efek samping, program vaksinasi masih bisa membawa dampak buruk. Kok bisa? Salah satu contoh perverse effect dari program vaksinasi adalah potensi dampak program vaksinasi HIV (jika vaksin tersebut nanti ada) terhadap kejadian kasus infeksi menular seksual selain HIV. Asumsinya, ada kemungkinan orang yang telah divaksinasi merasa kebal (dan mungkin memang  demikian adanya) terhadap infeksi HIV sehingga melakukan perilaku seksual berisiko, seperti berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Di satu pihak, karena orang tersebut telah kebal terhadap HIV maka penularan HIV tidak akan terjadi, namun di lain pihak penularan penyakit lain, seperti sifilis atau gonore, bisa meningkat. Contoh kedua adalah perverse effect akibat program vaksinasi cacar (varisela). Virus penyebab cacar adalah virus varicella, virus yang sama dengan penyebab penyakit herpes zoster (herpes kulit). Jika seseorang terinfeksi virus varicella, ada kemungkinan virus tersebut tidak benar-benar hilang dari dalam tubuh orang tersebut, namun “bersembunyi” di jaringan saraf. Jika sistem kekebalan tubuh menurun, ada kemungkinan virus tersebut menjadi aktif dan menyebabkan herpes zoster. Lalu mengapa vaksinasi cacar bisa meningkatkan kasus herpes? Seperti saya tulis di atas, herpes mungkin disebabkan oleh reaktivasi virus varicella pada saat kekebalan tubuh menurun. Tepatnya, kekebalan tubuh terhadap virus varicella. Menurut satu teori, sistem kekebalan ini dapat terjaga dalam ‘dosis’ yang sesuai karena adanya infeksi-infeksi ulangan yang terjadi secara alami. Nah, jika infeksi alami ini tidak terjadi, seperti yang akan terjadi jika kebanyakan orang divaksinasi, maka akan ada kemungkinan kekebalan tubuh orang-orang yang pernah terinfeksi varicella secara alami akan menurun dan akibatnya kasus herpes akan meningkat. Tentunya di sini kita membicarakan dua kelompok yang berbeda, satu kelompok yang mendapatkan vaksin adalah anak-anak, sedangkan kelompok lain yang kena getahnya adalah orang tua yang terinfeksi varicella secara alami sewaktu masih anak-anak. Kembali pada polio, peralihan dari penggunaan vaksin polio oral ke vaksin polio inaktif juga adalah satu contoh perubahan kebijakan akibat perverse effect vaksinasi. Suatu saat nanti, perverse effect dari semua vaksin yang sekarang digunakan mungkin akan lebih besar dari manfaat yang diperoleh, sehingga program vaksinasi tersebut tidak perlu dilakukan lagi. Tapi itu nanti, untuk sekarang manfaatnya masih jauh lebih besar dari kerugiannya. Penutup Sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa saya sangat mendukung program vaksinasi. Apa yang saya tulis di sini adalah upaya saya untuk mengangkat topik ‘bahaya vaksin’ secara adil dan obyektif, bukan untuk menakut-nakuti, dan pastinya saya berharap tulisan ini tidak mempunyai perverse effect. Intinya, yang saya ingin sampaikan adalah ini: Kebanyakan yang Anda baca tentang bahaya vaksinasi hampir bisa saya pastikan sudah terbantahkan kebenarannya atau memang hanya conspiracy theory saja. Sebut saja autisme atau upaya genosida. Namun demikian, ada ‘bahaya’ vaksin yang nyata dan perlu disikapi dengan bijaksana. Jadi, pertama, tugas kita yang pertama adalah membedakan mana informasi yang benar dan mana yang salah. Dan, kedua, vaksinasi mempunyai keuntungan DAN kerugian, baik itu di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat, sehingga keputusan yang benar terkait vaksinasi, baik oleh individu dan utamanya oleh pembuat kebijakan, adalah sesuatu yang dinamis, bisa berubah tergantung kepada informasi yang terkini. Masyarakat dan pemerintah harus sama-sama cerdas dalam menimbang keuntungan dan kerugian, risk and benefit, dari vaksinasi. Sejauh ini, saya cukup yakin bahwa benefit dari program vaksinasi yang dilakukan di Indonesia masih melebihi risk yang ada. Namun demikian, saya, dan sebaiknya juga Anda, terus mengamati dan meng-update informasi agar kebijakan yang tepat bisa diambil di saat yang tepat, dan kesehatan masyarakat Indonesia tetap terjaga. Jika kita harus berkeberatan dengan program vaksinasi, jadilah seorang John Salamone. Terakhir, saya khususkan kepada rekan-rekan yang pro-vaksinasi. Truth be told, vaksin bukanlah obat dewa dan jaman pun sudan berubah. Saya rasa era informasi ini sudah bukan waktunya untuk mengandalkan pola paternalistik ala Orba. Informasi mengenai vaksin, baik dan buruknya, seyogyanya diutarakan kepada siapa pun. Saya pikir yang demikian itu akan lebih bermanfaat, setidaknya in the long run. Mengutip mendiang Fulbright: Education is slow but powerful. NB. tulisan ini saya cross-posting di blog saya yang lain. Terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun