Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Pak Guru, Saya Eek!"

21 Maret 2022   22:10 Diperbarui: 22 Maret 2022   10:34 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mungkin judul "Pak Guru, .... Saya Eek!" terlalu naif. Jorok.  Untuk itu, maafkan saya.
Saya nggak bisa memilih judul yang bombastis. Saya hanya menuliskan seperti itulah kurang lebih kata-kata yang saya mengerti dari seorang anak. Seorang anak yang sangat lugu, yang berbicara dengan gurunya yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri ketika ia berada di sekolah.

Lah, kok bisa? Iya bisa, malah biasa peristiwa itu.
Bagi saya biasa saja. Ya, biasa.  Menghadapi anak-anak  yang masih polos, lugu tiada tara, masalah pipis di celana (ngompol), eek (BAB) di celana, itu biasa.  

Namanya saja anak-anak.
Apakah saya marah? Tersinggung, atau  merasa diper-babu-kan ketika membersihkan kotoran anak, menyebokinya?
Tidak, saya tidak tersinggung. Bahkan saya merasa bangga menjadi orang tua mereka di sekolah! Wakakakakak.....


Panggilan jiwa

Merujuk Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) No.14/2015, pasal 7, bahwa menjadi guru itu adalah sebuah profesi, pekerjaan khusus. Profesi  yang didalamnya ada bakat, ada panggilan jiwa. Maka kalau hanya nyebokin siswa yang eek (pup, be a be) di celana, kalau guru itu memiliki pangilan jiwa, panggilan akan pekerjaan itu biasa, bahkan mulia.
 
Permasalahannya bagaimana selanjutnya setelah itu?
Membangun relasi antara  guru - orang tua murid dengan sangat baik, itu hal wajib. Membangun relasi adalah hal yang perlu dilakukan oleh pendidik, guru, juga instansi pendidikan. Mengingat  proses pendidikan akan berlangsung terus menerus, seumur hidup. Maka proses itu  tak bisa sepotong-sepotong. Agar proses itu nggak terpotong, salah satu solusinya adalah komunikasi dua arah, pendidik dan orang tua siswa.

Kasus anak yang eek di celana, bisa jadi karena bangun terlambat.  Mandi terburu-buru, belum sempat BAB di rumah, atau belum sempat sarapan pagi, hingga perut sakit, dll. Hal-hal tersebut adalah bagian komunikasi yang perlu dibangun kedua belah pihak. Biasanya sekolah juga menyediakan "pakaian cadangan" untuk anak-anak yang sedang bermasalah dengan kondisi badannya, selain P3K juga  misalnya pipis di celana, dll.  

Keterbukan hati

Entah mengapa, saya sangat senang, bahagia bila ada anak yang mau bicara-cerita,  mau bertanya tentang banyak hal yang ia tidak tahu. Apalagi bila ada anak yang mau cerita keadaan dirinya, saya pasti dengarkan dengan saksama. 

Saya sangat tersentuh ketika mendengar  cerita anak tentang  keadaan badannya (yang mungkin kurang sehat). Saya sangat respect ketika melihat anak  mau bertanya jika ada hal-hal yang tidak jelas. Bagi saya hal itu menandakan karena anak itu amat peduli. Ia memiliki  keterbukaan hati dengan dirinya, dengan gurunya. Lebih dari itu, karena anak itu peduli dan ingin mau maju.  

Harus disadari, menanamkan keterbukaan hati dalam diri siswa, tidaklah mudah. Butuh perjuangan tersendiri, apalagi bila anak sering dibentak, sering dimarahi oleh orang tuanya ketika berada di rumah.  Moga-moga nggak ada ya di seantero Kompasiana ini.
Kalau keterbukaan hati ada dalam diri siswa, maka amatlah mudah untuk mendampingi mereka. Mengajarpun jadi lebih mudah. Ceile....


Pendidik Jaga Jarak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun