Kampung.
Teman... apa yang ada dalam pikiran Anda ketika membahas topik di atas?
Banyak! Iya, memang benar. Anak kota maupun di desa selalu punya susunan kata dalam bentuk kalimat dengan imajinasi untuk mengekspresikan apa itu kampung.
Apakah pernah mengalami pengalaman tubuh secara langsung dengan situasi di kampung, tidak menjadi syarat wajib untuk bercakap soal kampung. Teknologi memberi ruang ini, membuat kita semua seolah menjadi pakar.
Saya yang lahir dan besar di kampung, tentunya layak melakukan studi banding situasi. Membandingkan perkembangan di kampung sampai detik ini.
Perubahan dalam kultur tidak langsung dirasakan dalam satu hari. Bertahun-tahun berlalu barulah kita bisa memperoleh patahan-patahan perubahan itu. Ada yang diarahkan secara langsung, ada juga yang tak kasat mata mengubah perilaku kita; seperti metafora invisible hand.
Beberapa waktu lalu saya, juga keluarga, menghadiri undangan dari kabupaten sebelah yang sama-sama satu provinsi, Sulawesi Utara. Undangan itu adalah undangan keluarga. Saya di kab. Bolaang Mongondow (induk), keluarga yang saya tuju di kab. Bolaang mongondow Utara (Bolmut). Acara tersebut merupaka acara syukuran yang dibuat oleh keluarga dari Ibu saya.
Sepengetahuan saya, di kawasan kampung yang saya diami, istilah 'keluarga' merupakan istilah yang tidak cuma merujuk pada keluarga dalam satu atap rumah. Namun bisa sampai keluarga dalam kawin-mawin.
Di sini saya akan bercerita mengenai waktu, kurang lebih, satu hari yang saya lalui dari pagi sebelum berangkat sampai tibanya di Bolmut.
Pagi itu saya ke kantor Catatan Sipil (capil) untuk mengambil KTP yang telah diurus sebelumnya. Di tempat saya, kantor capil selalu ramai. Saya harus datang pagi agar bisa mendapat nomor antrian.
Seperti sedang memasarkan produk, slogan dipajang di kantor untuk mengarahkan imajinasi: SIAP MEMBERIKAN PELAYANAN PRIMA, begitu kalimatnya. Dan, sepertinya memang hanya tulisan.