#By Fits Radjah#Beberapa hari yang lalu, saya terkaget-kaget membaca salah satu "running teks" di salah satu TV Nasional: "Indonesia berambisi untuk menjadi Lumbung Pangan Dunia (LPD) pada 2015". Karena penasaran, (yang didorong oleh rasa kemustahilan) saya mencoba untuk memperoleh informasi yang lebih terinci di Kompas.com maupun Kompas Cetak; Sayangnya saya "gagal" untuk menemukan "indikator" LPD versi pemerintah tersebut.
Belum diketahui cara apa yang kelak akan dipakai pemerintah untuk mengejar ambisi tersebut. Namun saya malah jadi teringat bahwa pada awal-awal pemerintahan Presiden SBY "jilid I", pemerintah telah meluncurkan program Revitalisasi Pertanian. Kenyataannya, sekarang ini kita masih terus berkutat dengan impor beras, jagung, kedelai, dll, agar stock dalam negeri "aman".
Seminggu yang lalu saya sempat jalan-jalan ke desa yang beberapa tahun lalu begitu saya akrabi, dimana saya pernah mendampingi petani-petani setempat untuk bertani secara berkelanjutan / pertanian organik. Dari pengakuan ("sambatan") sahabat-sahabat saya tersebut; Hal yang paling nyata sekarang ini adalah kekawatiran petani atas produksi padi menurun akibat perubahan cuaca. Kebanyakan petani saat ini "tergagap=gagap" dalam menghadapi perubahan cuaca tsb (hujan yang berkepanjangan). Sementara Mereka sudah begitu lama "meninggalkan" kearifan lokal / indigenous knowledge dalam "membaca / menentukan" waktu tanam (mongso), misalnya; Disisi lain, kebutuhan memperoleh informasi aktual yang akurat tentang cuaca dengan menerapkan teknologi modernpun sulit mereka akses dengan berbagai macam alasan dan sebab......   .
Selain itu, merekapun "berhadapan" dengan semakin berkurangnya luas kepemilikan lahan sawah karena peralihan fungsi untuk kebutuhan papan, dll. Bagi yang tetap mempertahankan, ada tantangan lain yang harus mereka hadapi: harga jual padi di tangan petani yang "sangat tidak menarik" / rendah; yang mana hal inipun telah ikut mendorong laju peningkatan urbanisasi tenaga-tenaga produktif muda untuk meninggalkan desa mereka.
Tenaga kerja menjadi "langka" namun tetap murah dalam artian upah sebagai buruh tani / hari terlalu kecil untuk dapat memenuhi standar minimal kebutuhan hidup / hari. Sehingga, tidaklah mengherankan bahwa di kalangan anak muda desapun berhembus "pameo" bahwa menjadi petani itu tidak "asik", sudah mengeluarkan tenaga besar, harus berkotor-kotor, bayarannya kecil lagi. Belum lagi jika menghitung investasi awal yang tidak sedikit (sudah menjadi rahasia umum bahwa insfrastruktur pendukung: jalan, saluran irigasi, dll, semua sudah berusia tua dan butuh perbaikan), hmmm lengkap sudah ketidak-menarikkannya menjadi seorang petani.
Dilain sisi, ketergatungan terhadap beras sebagai bahan pokok utamapun kian besar. Lihat saja, saudara-saudara kita di beberapa wilayah Indonesia yang sebelumnya makanan pokoknya adalah Sagu sekarang begitu tergantung dengan beras; demikian juga dengan mereka yang makanan pokoknya Jagung & Ubi-ubian. Semua bergeser, menjadi tergantung pada beras! Celakanya, di wilayah yang mana tanaman Sagu, Jagung,Ubi-ubian tumbuh baik & subur, ternyata tidak demikian untuk tanaman padi. Terjadilah defisit beras, harga beras di tangan konsumen menjadi mahal, dst, dstnya ......   .
Persoalan-persoalan nyata di atas hanyalah sebagian kecil dari apa yang menjadi tantangan yang terlebih dahulu harus dijawab dengan aksi nyata dan tepat jika pemerintah benar-benar ingin menggapai dan mengejar ambisinya itu: menjadi lumbung pangan dunia.
Jangan sampai (seperti beberapa yang lain); "work plan"-nya BAGUS, tapi "Implementation Rate"-nya TIDAK BAGUS alias NOT COMPLETE atau bahkan hilang terbawa angin alias sekedar cita-cita......  .[FCR/080311]