Ketika Janji Mengikat: Menilik Peran Hukum Perikatan dalam Kehidupan Sehari-hari
Oleh: Fitri Fatmawati, Mahasiswi Fakultas Hukum. Universitas Pamulang PSDKU Kota Serang.
Sebagai mahasiswa yang juga bekerja sebagai operator di sebuah perusahaan swasta, saya sering berinteraksi dengan banyak orang yang melakukan kesepakatan tanpa menyadari bahwa setiap janji, meskipun sepele, bisa saja memiliki konsekuensi hukum. Salah satu hal yang sering saya temui, terutama dalam kehidupan sehari-hari, adalah pinjaman uang tanpa bukti tertulis.
Contohnya, sering kali ada teman yang meminjam uang dengan alasan darurat dan berjanji akan mengembalikan pada waktu tertentu. Namun, setelah janjinya tidak ditepati dan mereka “menghilang”, seringkali kita merasa bingung: bagaimana cara menuntut hak kita yang sudah dirugikan? Apalagi, dalam banyak kasus, tidak ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa mereka berhutang kepada kita. Lalu, apakah hal ini berarti kita tidak bisa menuntut hak kita? Jawabannya: tidak selalu demikian.
Dalam hukum perdata, hubungan semacam ini disebut Perikatan. Menurut Pasal 1233 KUH Perdata,
"Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang."
Meskipun perikatan tidak selalu harus dibuktikan dengan kontrak tertulis, kesepakatan antara dua pihak tetap berlaku jika memenuhi syarat sah perjanjian. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian sah jika:
1. Ada kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat
2. Pihak yang terlibat cakap secara hukum
3. Objek yang diperjanjikan jelas dan sah
4. Sebab yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan hukum
Jadi, meski hanya ada kesepakatan lisan, selama kedua belah pihak sepakat dan tidak ada unsur yang melanggar hukum, maka perjanjian tersebut sah dan bisa menimbulkan akibat hukum. Masalahnya, dalam kasus seperti ini, sering kali kita tidak punya bukti kuat untuk mengklaim hak kita—terutama jika teman yang berhutang sudah “kabur”.
Sebagai karyawan, saya juga sering berhadapan dengan berbagai transaksi dan janji, baik secara lisan maupun tertulis, yang kadang tidak dihargai begitu saja. Saya belajar bahwa penting untuk selalu mendokumentasikan setiap kesepakatan, walaupun hanya sebatas pesan singkat atau bukti transfer uang. Hal ini untuk melindungi diri kita sendiri apabila suatu saat terjadi wanprestasi, yakni ketika pihak yang berjanji tidak menepati komitmennya.
Kesadaran hukum seperti ini penting, bukan hanya untuk orang yang bekerja di bidang hukum, tetapi untuk semua orang, terutama yang terlibat dalam transaksi informal atau hubungan sosial sehari-hari. Membangun kebiasaan untuk menulis bukti perjanjian atau setidaknya menyimpan percakapan bisa menjadi langkah penting untuk melindungi diri.
Sebagai mahasiswa hukum yang juga merasakan kehidupan kerja sebagai operator, saya yakin bahwa hukum perikatan bukanlah hal yang harus dipelajari hanya di ruang sidang. Ini adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Dengan memahami hak dan kewajiban, kita bisa menjalani hidup dengan lebih adil, meski hanya melalui janji sederhana yang tampaknya sepele.