Semua yang pernah hadir akan ada waktunya untuk pergi begitupun kepergian suatu saat akan membawa kembali yang namanya kehadiran. Datang dan pergi seperti senja di kolong langit. Sesaat menggores cakrawala dan pulang saat petang bertandang. Indah memang tapi hanya sesaat.
Aku menganggap diriku seekor camar yang terbang menemui senja. Berkali-kali jatuh, berkali-kali luruh. Bukan karena hujan menghempas atau angin menampar tapi sayap kiriku masih tersangkut di pelukmu.
Aku bukan aku yang dulu yang dengan seenaknya mengumpulkan rindu dan kukantongi untuk dapat kumasukan dalam saku celanamu agar kamu tahu bahwa sakumu pun tak muat untuk rinduku. Kamu tahu aku tak dapat berbuat itu sekarang. Seperti kamu yang tahu tentang aku, pun aku tahu perihal tentangmu. Tentang luka-luka kepergian yang tertoreh di hatimu, seperti kamu yang sekarat dalam pedihnya pengorbanan, pun aku juga tak jauh beda dengan keadaanmu.
Entah sejak itu rindu masih bersemayam dalam rongga dadamu atau hanya aura kebencian yang tercipta terhadapku. Sedangkan aku jika ingin rindu itu ada, aku harus kembali mencumbui bayangmu dalam sisa-sisa kenangan masa lalu.
Aku jajar satu persatu tiap puzzle kenangan kita. Aku memperhatikan caramu tertawa, caramu marah bahkan lelucon-lelucon yang terhidang begitu saja dari mulutmu. Kau yang memberi nasehat tentang penampilanku yang terkadang sering kali kuabaikan dan tentang mata tajammu yang berulang kali buatku jatuh cinta. Semuanya terkumpul dalam tiap kepingan puzzle kenangan kita.
Dan terkadang aku merasakan rindu yang sedemikian hebatnya. Rindu akan semua hal tentang dirimu.
*****
"Sudah turun? Aku sudah di depan stasiun."
Aku baca pesan singkatmu dan buru-buru turun dari kereta. Membuatmu menunggu adalah hal yang tak ingin aku ciptakan.
Aku melihatmu duduk di atas motor dengan kaos hitam kesayanganmu.
"Sudah lama menunggu ya?"