Mohon tunggu...
Fitria Aulia
Fitria Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa

suka bercerita, periang, suka menonton dan baca novel

Selanjutnya

Tutup

Financial

Tunggakan 200 Bos Besar: Risiko Tunggakan Dan Dampak Positif Pelunasan

4 Oktober 2025   11:45 Diperbarui: 4 Oktober 2025   12:01 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Penunggakan pajak oleh 200 pengusaha besar dengan nilai yang berkisar antara Rp 50-60 triliun membawa dampak yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian nasional. Besarnya jumlah utang pajak ini secara langsung menyebabkan penurunan penerimaan negara, yang selanjutnya menimbulkan peningkatan defisit anggaran. Defisit anggaran yang semakin membengkak tentu saja akan berimplikasi negatif terhadap kemampuan negara dalam membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dengan kata lain, apabila tunggakan pajak ini tidak segera ditagih dan diselesaikan, maka akan sangat berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Sebaliknya, apabila pemerintah berhasil menagih utang pajak tersebut, maka penerimaan negara akan mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Hal ini tak hanya akan memperkuat kas negara, tetapi juga memberikan efek jera kepada para pengusaha besar yang selama ini menunggak kewajiban perpajakan mereka. Efek jera ini sangat penting agar mereka dan pelaku usaha lain dapat lebih disiplin dan patuh dalam melaksanakan kewajiban membayar pajak. Lebih jauh lagi, upaya penagihan ini juga secara langsung berkontribusi pada penguatan prinsip keadilan fiskal, di mana wajib pajak yang patuh tidak dirugikan oleh mereka yang mengabaikan kewajiban perpajakannya. Dengan menjaga keadilan fiskal, negara dapat mempertahankan stabilitas serta kesehatan finansialnya dalam jangka panjang.

Rincian lebih mendalam mengenai tunggakan pajak yang mencapai Rp 50-60 triliun ini menunjukkan bahwa sebagian besar berasal dari sektor industri komoditas dan sumber daya alam. Sektor-sektor ini dikenal sebagai kontributor utama dalam penerimaan negara, sehingga penunggakan dari kalangan ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak telah menyatakan komitmennya untuk menagih utang pajak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), yang berarti tidak dapat lagi dilakukan banding atau keberatan. Jika seluruh tunggakan ini mampu dilunasi, kas negara yang saat ini sedang tertekan akibat defisit sebesar Rp 321,6 triliun atau setara dengan 1,35% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025 akan berangsur membaik.

Proses penagihan utang pajak ini juga memberikan sinyal tegas kepada seluruh wajib pajak, baik skala besar maupun kecil, bahwa tidak ada yang bisa lolos dari kewajiban perpajakannya. Hal ini termasuk pengusaha besar yang sebelumnya mungkin merasa dapat menghindari atau menunda pembayaran pajak mereka. Pemerintah berharap dengan langkah tegas ini, kesadaran dan kepatuhan terhadap pajak akan meningkat secara signifikan di masa yang akan datang. Selain itu, inisiatif penagihan ini sangat penting untuk menjaga keadilan fiskal dan mengurangi kesenjangan antara wajib pajak yang taat dan yang tidak. Secara menyeluruh, hal ini juga akan memastikan kesehatan fiskal negara agar tetap terjaga dan mampu menyokong pembangunan berkelanjutan.

Berkenaan dengan 200 pengusaha besar yang teridentifikasi menunggak pajak, semua telah memiliki status hukum tetap atau inkracht. Pemerintah berencana melakukan penagihan dan bahkan mengeksekusi tunggakan pajak tersebut dengan tanpa memberikan celah bagi mereka untuk menghindar dari kewajiban perpajakan mereka. Langkah tegas ini diambil sebagai respons atas kekhawatiran masyarakat yang merasa resah karena selama ini ada pengusaha besar yang terkesan dapat lolos dari jerat hukum perpajakan. Dalam proses penagihan ini, pemerintah melibatkan berbagai lembaga penegak hukum, termasuk Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memastikan bahwa penagihan dilakukan secara benar dan efektif. Saat ini, sebagian dari para pengusaha tersebut sudah mulai melakukan pembayaran, sedangkan yang belum menyelesaikan kewajiban pajaknya akan terus dipantau dan diawasi agar tidak mengelak atau mengabaikan kewajiban mereka.

Meskipun tata cara penagihan pajak sudah sangat jelas dan baku, termasuk penggunaan surat peringatan sebagai langkah awal yang memberikan waktu pembayaran selama 21 hari, serta surat paksa yang memiliki kekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan, tunggakan besar tetap bisa terjadi. Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, wajib pajak besar biasanya sudah menjalani beberapa tahap penagihan, namun mereka kerap menunda atau sengaja tidak membayar untuk memperpanjang waktu dan mengelola arus kas mereka tanpa melunasi kewajiban pajak. Kedua, surat paksa dikeluarkan jika wajib pajak tidak melakukan pembayaran setelah memperoleh surat peringatan dalam waktu yang ditentukan, dengan batas waktu hanya 2x24 jam. Namun meski demikian, pelunasan pajak tidak selalu langsung terwujud setelah surat paksa dikirim.

Ketiga, apabila surat paksa tidak ditanggapi, penyitaan aset dan langkah lanjutan lainnya dapat diambil dalam waktu 2x24 jam setelah tindakan administrasi dijalankan. Keempat, proses penagihan tunggakan yang bernilai besar ini sering membutuhkan waktu yang relatif lama. Hal ini dapat disebabkan keberatan, banding, atau negosiasi pembayaran kembali dan restrukturisasi kewajiban pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Kelima, kendala administratif, kesulitan dalam mengeksekusi aset-aset yang disita, serta penggunaan strategi pengajuan penangguhan pembayaran oleh wajib pajak sering kali memperlambat proses penyelesaian tunggakan. Faktor-faktor tersebut berkontribusi pada akumulasi tunggakan yang mencapai triliunan rupiah.

Dengan demikian, walaupun sudah ada mekanisme administrasi dan hukum berupa surat peringatan, surat paksa, hingga penyitaan aset sebagai bagian dari proses penagihan, tunggakan besar tetap saja bisa terjadi karena prosedur yang panjang dan rumit serta ketidakkooperatifan dari pihak wajib pajak besar. Proses hukum yang mesti dilewati, perlawanan administratif dari wajib pajak, serta eksekusi aset yang kompleks, menjadi faktor yang memperlambat penyelesaian tunggakan ini. Oleh sebab itu, langkah-langkah pemberian efek jera dan penegakan hukum yang ketat sangat diperlukan agar tidak ada lagi pengusaha besar yang mengabaikan tanggung jawab perpajakannya di masa depan, yang pada akhirnya dapat menjaga kesehatan fiskal serta kestabilan ekonomi negara secara keseluruhan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun