Bayangkan sebuah kota di tahun 2050. Suara klakson yang mengganggu sudah tidak ada lagi, di jalan-jalan hanya ada kendaraan listrik otonom yang bergerak dengan tenang tanpa pengemudi, dan lampu lalu lintas pun menjadi tidak perlu. Gedung-gedung tinggi bukan hanya menjadi lambang kapitalisme, tetapi juga sebagai mesin ramah lingkungan yang memproduksi energi, mengurangi polusi, dan memiliki kebun di atapnya. Ini terdengar sangat futuristik, bukan?
Namun, ada pertanyaan: apakah kota di masa depan akan benar-benar semenarik itu? Atau justru akan berubah menjadi "penjara digital", di mana hidup kita dikendalikan oleh algoritma, diawasi oleh kamera pengawas, dan dikepung beton tanpa jiwa?
Kota lebih dari sekadar sekumpulan bangunan dan jalan. Ia adalah tempat kehidupan berlangsung, cerminan peradaban, serta medan pertempuran antara teknologi, ekologi, dan kemanusiaan. Masa depan kota akan sangat berpengaruh pada kualitas hidup manusia. Oleh karena itu, ketika kita membahas imajinasi tentang kota di masa mendatang, kita juga membahas masa depan kita sebagai sebuah bangsa, sebagai bagian dari komunitas global, bahkan sebagai manusia.
Narasi yang umum tentang kota di masa depan selalu menyoroti konsep smart city. Segalanya serba digital, otomatis, dan efisien. Mulai dari mobil otonom, kulkas yang secara otomatis dapat memesan bahan makanan, hingga lampu jalan yang menyala berdasarkan gerakan, serta kamera pengawas yang ada di setiap sudut kota.
Contoh yang nyata dapat kita lihat di Songdo, Korea Selatan. Kota ini dirancang dari awal dengan ide smart city. Dengan sensor di mana-mana, transportasi publik yang modern, dan sistem pengelolaan sampah yang berbasis digital. Dalam teori, semuanya terlihat ideal. Namun, kenyataannya, banyak penduduk merasa terasing. Kota ini terasa sepi, terlalu steril, dan kurang "hidup".
Hal yang sama juga dapat dilihat di Masdar City, Uni Emirat Arab, yang dianggap sebagai kota paling ramah lingkungan. Sayangnya, hingga saat ini Masdar tidak pernah benar-benar berfungsi seperti yang dijanjikan. Proyek yang ambisius ini lebih banyak menjadi ajang promosi dibandingkan tempat tinggal yang nyata.
Pertanyaannya adalah: apakah smart city hanya akan menjadi alat bagi kalangan elite, sementara masyarakat kecil tetap terjebak di kawasan kumuh yang padat? Apakah konsep kota pintar benar-benar untuk warga, atau lebih dikhususkan untuk para investor dan perusahaan?
Teknologi memang memiliki peran penting, tetapi bukan satu-satunya solusi. Kota yang terlalu bergantung pada mesin memiliki risiko kehilangan aspek kemanusiaannya. Bayangkan jika setiap sudut kota dipenuhi dengan kamera dan sensor, apakah kita masih bisa memiliki privasi? Kota masa depan perlu pintar, namun jangan sampai berubah menjadi Kota Pengawas.
krisis iklim adalah ancaman paling nyata bagi masa depan kota. Jika 70% populasi dunia akan tinggal di kota pada 2050 (data PBB), maka kota adalah garda depan pertarungan ini.
Lihat Jakarta hari ini: banjir, polusi udara, macet parah, dan krisis air tanah. Kalau tidak diantisipasi, kota-kota besar dunia akan jadi bom waktu ekologis.
Karena itu, kota masa depan harus hijau. Bayangkan trotoar teduh oleh pohon rindang, atap gedung ditumbuhi kebun urban, dan sungai kembali jernih. Sistem transportasi publik harus benar-benar jadi tulang punggung, bukan sekadar proyek mercusuar yang mahal tiketnya. Alih-alih jalan tol baru, kota masa depan butuh jalur sepeda, kereta cepat ramah kantong, dan kendaraan listrik berbagi.