Mohon tunggu...
Firdaus Ferdiansyah
Firdaus Ferdiansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi asyik ngampus di universitas nomor satu

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Rokok Jelas Memperparah Penerapan KTR dan KLA di Tengah Status KLB Covd-19 Surakarta

16 Juni 2020   13:38 Diperbarui: 16 Juni 2020   13:36 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berhenti merokok (MarcBruxelle)

Korelasi antara rokok dengan COVID-19 tentunya dapat dilihat bagaimana para perokok memiliki risiko mengalami COVID-19 yang berat dibanding dengan bukan perokok. Ketika seseorang merokok, orang tersebut berpotensi mengalami gangguan di dalam sistem imunitas saluran pernapasan dan paru. Hal ini diperparah dengan perilaku merokok yang sering memegang mulut untuk menghisap rokok tanpa cuci tangan sebelumnya. Tangan yang terkontaminasi dan digunakan berulang kali ketika merokok dapat mentransfer virus ke dalam tubuh.

Merokok meningkatkan risiko penyakit paru kronik. Kondisi ini menyebabkan gangguan oksigenasi (pemenuhan akan kebutuhan oksigen) tubuh. Infeksi paru akan lebih mudah terjadi akibat kondisi penyakit paru kronik, dan dalam kondisi ini mempermudah terjadinya infeksi COVID-19.

Rumah Sakit Persahabatan Jakarta yang menjadi salah satu rumah sakit rujukan pemerintah dalam penanganan COVID-19 memaparkan bahwa sebanyak 63% dari total 386 pasien mengalami penyakit komorbid seperti : gagal jantung, hipertensi, jantug koroner, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asma, diabetes, gagal ginjal, dan juga stroke yang dapat meningkatkan infeksi COVID-19. Bahkan dalam studi Wang Y menyebutkan tingkat kematian dengan komorbid pada COVID-19 sangat tinggi dibanding tanpa komorbid yang hanya sekitar 0,9%.

Narasi Kontraproduktif Terhadap Peluang Rokok Menyembuhkan/Mencegah COVID-19

Belakangan, sempat beredar informasi atau kabar palsu yang timbul di masyarakat adanya narasi menyebutkan rokok dapat dijadikan pencegahan / penyembuhan COVID-19. Beredar juga di media sosial maupun media massa informasi yang menyebutkan bahwa merokok mengurangi risiko terjangkit COVID-19 berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Makoto Miyara dkk.

Penelitian yang berjudul "Low Rate of Daily Active Tobacco Smoking in Patients with Symptomatic COVID-19" menyimpulkan bahwa perokok aktif dapat terlindungi dari gejala COVID-19. Penelitian tersebut sempat dibantah oleh Iwan Ariawan dari Departemen Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengingat lokasi penelitian di salah satu rumah sakit universitas pendidikan di Paris, Perancis yang sebagian besar kasus positif COVID-19 adalah tenaga kesehatan. Mereka kemungkinan besar terinfeksi oleh/dari pasien positif COVID-19 di rumah sakit dan bukan terinfeksi dari komunitas/lingkungan luar. Penelitian ini dianggap tidak dapat menjawab pertanyaan tentang risiko terinfeksi COVID-19 di masyarakat antara perokok dibandingkan dengan bukan perokok mengingat proporsi perokok pada tenaga kesehatan yang terbilang cukup rendah dibanding dengan profesi lain.

Seperti yang kita ketahui bahwa ketika melakukan kuesioner mandiri yang dilakukan oleh peneliti terhadap pasien di rumah sakit itu sangat memungkinkan terjadi social desirability bias. Schofield & Hill menyebutkan hanya 63% pasien yang terklasifikasi sebagai perokok berdasarkan tingkat nikotin pada uji urin yang terbukti sebagai pada catatan registrasi rumah sakit. Ada kemungkinan pasien di rumah sakit akan mengatakan bahwa dirinya bukan perokok atau mantan perokok. Dengan kemungkinan terjadinya social desirability bias, kesimpulan penelitian menjadi bias jika hanya membandingkan proporsi perokok aktif pada pasien COVID-19 di Perancis yang hanya 7% dan tidak memperhatikan proporsi eks perokok aktif yang jauh lebih tinggi sekitar 59% dibanding populasi eks perokok di Perancis yang berkisar 31%. Menurut Iwan, kemunculan banyaknya bias dalam desain penelitian ini baik melalui pengukuran maupun analisis membuat kesimpulan yang dihasilkan sangat diragukan ketepatannya.

KTR sebagai perwujudan Kota Layak Anak, Bagaimana mungkin?

Kota Surakarta memulai perjalanan predikat Kota Layak Anak sudah sejak 14 tahun yang lalu atau tepatnya pada tahun 2006 yang dilanjutkan dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak.

PP No. 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak memang menyaratkan ketersediaan kawasan tanpa rokok dan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok untuk mewujudkan Kota Layak Anak. Ini yang kemudian membuat pemerintah Kota Surakarta berusaha untuk dapat mengimplementasikan secara optimal dalam pelaksanaan KTR di wilayah Surakarta terkhusus untuk mendapat predikat dengan grade tertinggi "Kota Layak Anak" dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Setelah disahkan, sosialisasi demi sosialisasi mengenai Perda KTR terus digencarkan oleh Dinas Kesehatan yang dimulai dari UPT Puskesmas dilanjutkan oleh masing masing kepala organisasi perangkat daerah, penanggung jawab fasyankes, orgranisasi profesi kesehatan, persatuan apotek, klinik kesehatan, perwakilan agama, kepala stasiun dan terminal, televisi, radio, perguruan tinggi, pusat perbelanjaan, dan lain lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun