Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Berhenti Mengadu Domba Ulama dan Umara

2 Juni 2017   14:49 Diperbarui: 2 Juni 2017   14:58 2107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
iustrasi : statusaceh.net

Ulama dan Umara adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan.  Terutama di bumi yang sudah dikodrati dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Karena sila pertama adalah Ketuhanan yang maha esa yang sanggat terkait erat dengan cara pandang manusia terhadap agama yanhg butuh ulama,  dan kedua dan seterusnya adalah cara bagaimana bangsa ini harus dipimpin oleh seorang umara atau pemimpin.

Ulama merupakan jamak dari kata alim yang berarti orang yang berpengetahuan, ahli, pandai. Dan dalam bahasa Indonesia maka ulama berarti ahli ilmu Agama Islam. Sedangkan Umara adalah pemimpin atau penguasa. Dalam al-qur’an ulama sering disebut dengan ulul albab sedangkan umara dengan ulul amri. Ulul albab berarti orang yang arif sedangkan ulul amri merupakan orang yang memiliki pengaruh, memiliki kekuasaan atau penguasa. Ulul amri juga bisa diartikan sebagai orang yang memangku (memegang) urusan rakyat.

Hiruk pikuk terjadi perdebatan dibumi Pancasila saat ini sejatinya tidak akan terjadi bila kita menyelami lebih mendalam makna dan falsafah hidup itu sendiri. Pertentangan akan kepentingan politik saat ini (nila setitik) sering kali membuat “rusaknya susu sebelanga” akibat dari adanya kaum yang “merasa” lebih pancasilais dari pada kaum lainnya. Sehingga sering kali kaum tersebut menghakimi (menge-judge) kaum lainnya tidak pancasilais akibat tidak mau mengekor keinginan mereka. Penghakiman terhadap pancasilais dan tidak pancasilais itu tentu tidak akan pernah menjadi solusi memadai untuk menciptakan kerukunan antar umat, golongan, suku, ras dan agama (SARA).

Acara Pilkada yang menyajikan pertarungan politik antar individu dan golongan atau kelompok yang menghadirkan sekaligus kiblat politik seringkali (tidak selalu) menjadi instrumen salah arah yang berakibat pada pecahnya persatuan, tidak hanya antar pendukung tetapi juga keluarga (kekeluargaan) yang berujung dengan pecahnya persatuan bangsa (tentu berseberangan dengan Sila Ketiga). Karena kita sering kali tidak bisa bermusyawarah untuk mufakat sesama pendukung walaupun terkadang Pilkada sudah selesai (nah..tentu juga bertentangan dengan Sila keempat bukan). 

Ditambah dengan sering kali juga para pemimpin kurang beradab, tidak amanat bahkan hianat dan tidak bisa berlaku adil bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Dengan begitu rakyat tidak bisa sejahtera dan merasa sengsara karena ulah para pemimpinnya (dengan demikian bertentangan dengan sila kedua dan kelima, termasuk ketiga sila lainnya).

Namun persefektif dari tulisan ini adalah bukan untuk menggiring para pembaca kearah itu, karena Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa sudah begitu lengkap.  Tulisan ini sekedar untuk mengingatkan bahwa kodrat Bangsa Indoensia ini ketika merdeka adalah “keberagaman” sebagaimana juga disampaikan oleh Presiden Jokowi pada saat hari lahirnya Pancasila. Dan,  sesungguhnya juga kodrat manusia Indonesia adalah berketuhanan atau bisa disebut “beragama”.

Dalam dua terminologi itu maka sudah selayaknya di Bumi Pancasila ini yang penuh dengan keberagaman itu tentu membutuhkan seorang figur pemimpin yang pemersatu, tidak memihak (adil kepada semua golongan), kokoh, kuat, tidak mencla-mencle dan memegang teguh amanat yang sudah dijanjikannya dengan rakyatnya (komitmen).

Disamping itu tentu untuk mengurus umat yang berketuhanan atau beragama (terkhusus bagi Agama Islam) itu maka dibutuhkan seorang ulama yang arif, bijaksana dan memahami kultur umat yang dibawahnya.

Sudah jarang sekali (hampir tidak lagi ditemukan) di Bumi Indonesia saat ini ada seseorang yang memiliki  sifat sebagai seorang umara sekaligus ulama yang menyatu dan melekat didalam dirinya dua sifat penting yaitu memiliki sifat yang arif sekaligus memiliki pengaruh. Hampir tidak ditemukan lagi orang yang memiliki sifat yang bijak sekaligus mampu mengemban amanat.

Permasalahan pokok itu menjadi runcing ketika saat ini ada upaya untuk membenturkan ulama dan umara yang sepertinya sangat sistematis untuk menggerogoti bangsa yang rindu dengan kedamaian ini. Sejarah mencatat bangsa ini bisa merdeka dan besar seperti saat ini adalah ketika para pemimpin (umara) bisa sejalan dan bersanding dengan para ulama.

Pemerintah (tentu para pemimpin) harus menjaga komunikasi yang baik dengan para ulama  dan juga harus mampu menjelaskan kepada publik (tulus dan ikhlas, dengan bukti nyata tentunya) tidak ada upaya-upaya kriminalisasi terhadap ulama. Karena ulama bagi umat Islam tidak hanya sebagai guru tetapi juga panutan. Sulit sekali dan sulit juga dipahami bagi umat Islam bila terjadi ketidak adilan bagi para ulamanya dan Pemerintah tidak mampu menjelaskannya dengan baik kepada mereka. Dan Sebaliknya bagi para ulama sudah seharusnya mampu mengedukasi dan mengendalikan umatnya dengan baik, arif dan bijak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun