Mohon tunggu...
Fikri Haekal Akbar
Fikri Haekal Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Fikri Haekal Akbar adalah seorang penulis aktif yang konsisten membagikan gagasan dan refleksi kritisnya melalui berbagai platform digital seperti Kompasiana, Medium, Indonesiana, Kumparan dan lainnya. Karyanya banyak mengangkat isu-isu sosial, budaya, dan keislaman dengan gaya bahasa yang renyah namun tetap berbobot.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lidah Tajam Aksar Tak Bisa Lawan Mandau Harga Diri Urang Banjar

31 Juli 2025   07:00 Diperbarui: 30 Juli 2025   19:40 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Aksar tampil dalam video di kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi (Ilustrasi dari penulis)

 

Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan oleh pernyataan seorang pria bernama Aksar dalam pertemuannya dengan tokoh publik Kang Dedi Mulyadi (KDM) di Subang. Awalnya, suasana tampak tenang dan haru. Aksar datang dengan harapan mendapatkan berkah dari sisa air minum KDM untuk anaknya yang masih dalam kandungan. Namun suasana tersebut berubah drastis ketika Aksar secara terang-terangan menyebut bahwa "orang Kalimantan itu jujur karena pemalas," dan melanjutkan dengan, "apalagi orang Banjar."

Pernyataan ini tentu bukan hanya mencederai martabat suku Banjar sebagai salah satu suku besar di Indonesia, melainkan juga membuka kembali luka-luka lama akibat stereotip dan generalisasi rasial. Apa yang diucapkan Aksar bukan sekadar pendapat pribadi yang bisa dilewatkan begitu saja. Ia adalah bentuk penghinaan terhadap identitas kolektif, kerja keras, dan sejarah panjang sebuah masyarakat Banjar yang telah berabad-abad membangun tanahnya sendiri tanpa banyak koar-koar.

Mungkin Aksar tidak pernah tahu, atau memilih untuk tidak tahu, bahwa sebagian besar lahan pertanian di Kalimantan, khususnya lahan pangan sawah dan tambak, dikelola oleh tangan-tangan orang Banjar. Mereka hadir di balik layar produksi pangan nasional, yang ironisnya kerap dilupakan atau bahkan dihina.

Di Kabupaten Barito Kuala misalnya, sebuah kawasan agraris di Kalimantan Selatan, sawah membentang sejauh mata memandang. Petani-petani Banjar menanam padi di lahan pasang surut yang menantang, mereka tidak sekadar bekerja, tapi juga mewariskan kearifan bertani yang ramah terhadap alam dan air. Di Tanah Laut, Hulu Sungai Utara, hingga sebagian Tapin dan Banjarbaru, nama-nama seperti handil, rawa, dan saluran tabat adalah saksi hidup keuletan orang Banjar dalam menggarap tanah.

Saya sendiri tidak berbicara dari luar pagar. Keluarga saya pun sebagian adalah petani. Saya menyaksikan langsung bagaimana sawah bukan sekadar lahan, tetapi hidup itu sendiri. Mulai dari menanam hingga panen, semua dijalani dengan penuh ketekunan. Bahkan di musim paceklik, mereka tetap bertahan. Apa itu yang disebut malas?

Kalau Aksar punya waktu turun ke sawah, menyingsingkan celana, dan berdiri di lumpur setinggi betis sambil memanggul alat semai padi, ia mungkin akan menelan kembali kata "pemalas" itu sebelum sempat mengucapkannya.

Orang Banjar memang bukan tipikal yang ribut membanggakan diri. Mereka lebih banyak diam, mengangguk, lalu bekerja. Tapi bukan berarti mereka bisa diinjak. Mungkin kita pernah mengenal dengan pepatah "urang Banjar sabar, tapi lamun sudah banar, bisa lawan raja."

Peradaban Banjar yang berbasis Kesultanan Banjar memiliki warisan budaya dan struktur sosial yang kuat. Mereka adalah pedagang ulung di masa lampau, bahkan sudah menjalin relasi dagang dengan Tiongkok dan Gujarat sejak abad ke-15. Kesultanan Banjar mengelola pelabuhan di Banjarmasin yang menjadi simpul perdagangan regional hingga internasional. Apa ini dilakukan oleh pemalas?

Lebih jauh, Banjar bukan sekadar nama suku. Dalam Sejarah Kalimantan yang disusun oleh Moh. Ali (1981), suku Banjar adalah identitas multikultural yang mengandung unsur Dayak Ma'anyan, Melayu, Jawa, hingga Arab. Ketika Aksar dengan enteng mengatakan bahwa Banjar macam-macam, ia lupa bahwa keberagaman itu adalah kekayaan, bukan alasan untuk dilecehkan. Ia juga lupa bahwa menyentuh Banjar berarti menyentuh Dayak, karena secara historis, masyarakat Banjar lahir dari proses Islamisasi dan urbanisasi orang-orang Dayak di tepi sungai besar Kalimantan. Jadi, bermain-main dengan Banjar adalah bermain-main dengan akar Kalimantan itu sendiri.

Aksar memang hanya seorang individu, mungkin tidak mewakili siapa-siapa. Tapi ia telah bicara di hadapan publik, dalam kanal milik figur publik, dan ucapannya terdengar oleh ribuan bahkan jutaan orang. Ia tidak sekadar beropini, ia sedang membentuk persepsi. Dan persepsi itu menyebar cepat, melukai masyarakat yang selama ini hidup tenang, jauh dari pusat kegaduhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun