Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram : @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, Surabaya || Sekjen DPP Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun kekuatan sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan Umat Islam di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Urgensi RUU Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah RUU PBJ

15 Juni 2021   16:15 Diperbarui: 15 Juni 2021   16:23 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dalam Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah di Istana Bogor, 27/5/2021. Sumber: BPMI Sekretariat Presiden

Pada pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah di di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (27/5/2021), Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo kembali menyoroti rendahnya penyerapan anggaran oleh pemerintah daerah. Realisasi pengadaan barang dan jasa di kementerian/lembaga (K/L) pada kuartal I-2021 hanya sekitar 10,98% dan pengadaan barang dan jasa di pemerintah daerah di bawah 5%. Presiden juga menyampaikan bahwa semua realisasi belanja pemerintah masih rendah, di mana sampai saat ini APBN yang terserap baru sekitar 15%, APBD 7%, dan serapan belanja PEN juga terbilang rendah yaitu 24,6%.

Di hari yang sama, Kementerian Keuangan Republik Indonesia juga menyampaikan buruknya penyerapan anggaran oleh daerah pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR. Yang lebih miris, serapan anggaran yang telah dilakukan mayoritas merupakan belanja pegawai.

Padahal Presiden telah menyampaikan kepada para kepala daerah se-Indonesia untuk segera membelanjakan dana APBD pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2021 di Istana Negara, Selasa 4 Mei 2021. Dana APBD yang terparkir di perbankan membuat pemulihan ekonomi sulit terlaksana. Pada kesempatan tersebut, Presiden juga menghimbau agar belanja yang dilakukan adalah belanja modal, bukan belanja untuk belanja pegawai. Hal ini bertujuan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan menciptakan peredaran uang dalam jumlah besar di daerah. Berdasarkan perhitungan dari Kementerian Keuangan, seyogianya porsi belanja infrastruktur yang ideal adalah sampai dengan 40% dari postur anggaran.

 Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk mencari solusi atas rendahnya penyerapan anggaran tersebut. Presiden telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) mencarikan solusi terbaik terkait permasalahan tersebut. Kementerian Dalam Negeri juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk mengatasi hal tersebut. Dan yang terbaru, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) meresmikan Surat Edaran Bersama Nomor 027/2926/SJ Nomor 1 Tahun 2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.

Mengapa rendahnya penyerapan anggaran oleh daerah, khususnya terkait belanja modal masih terjadi? Padahal di tahun 2020 lalu, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Permasalahan terkait landasan hukum pengadaan barang dan jasa

Ada beberapa penyebab masih rendahnya penyerapan anggaran, walaupun sejumlah upaya dari Pemerintah telah dilakukan. Dari sudut pandang hukum, salah satunya adalah terkait dengan landasan hukum dari pengadaan barang dan jasa itu sendiri. Sebagaimana yang diketahui bahwa landasan hukum pengadaan barang dan jasa di Indonesia adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sedangkan pelaksanaan teknis dari Perpres tersebut terdapat di sejumlah Peraturan LKPP.

Bentuk hukum Peraturan Presiden dinilai masih belum kuat sebagai payung hukum dari pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah. Sebagai gambaran, bahwa terdapat ribuan trilliun rupiah dalam postur anggaran di APBN. Anggaran sebesar itu akan dilakukan perputaran baik ke arah belanja pegawai maupun belanja modal, belanja infrastruktur dan lain-lain. Namun perputaran uang senilai ribuan trilliun tersebut hanya didasarkan berdasarkan payung hukum berupa Perpres. Padahal secara hierarki Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Perpres masih berada dibawah Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Namun Perpres tersebut seolah menjadi pemegang sentral sebagai dasar hukum terkait perputaran uang senilai ribuan trilliun tersebut.

Selain itu, dalam kontrak pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah, terlibat berbagai jenis bidang hukum, yakni Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Pada kewenangan dan prosedur dalam tahap pembentukkan kontrak, hal ini merupakan bentuk Hukum Administrasi. Sedangkan Hukum Perdata terkait dengan sifat keperdataan khususnya perikatan akibat hubungan kontraktual yang terbentuk oleh Pemerintah. Terakhir, Hukum Pidana adalah terkait dengan sanksi pidana akibat adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang menyangkut keuangan negara.

Subjek dari pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah, seperti kementerian, lembaga, pemerintah daerah beserta SKPD-nya tentu mengalami dilematis ketika mendapatkan instruksi percepatan pengadaan barang dan jasa. Di satu sisi, instruksi tersebut harus dijalankan agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masyarakat. Namun di sisi lain, percepatan tersebut tidak boleh melanggar sejumlah prosedur yang ada. Salah sedikit bisa terkena masalah hukum. Walaupun bukan dalam konteks memperkaya diri sendiri sebagaimana dalam konsep tindak pidana korupsi, namun bisa dijerat dengan hal yang lain seperti berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, prosedur dan lain-lain.

Bentuk hukum Perpres sebagai dasar hukum pengadaan barang dan jasa juga terkadang berbenturan peraturan lainnya yang secara hierarki jauh lebih tinggi, yakni undang-undang. Seperti undang-undang yang berkaitan dengan jasa konstruksi, pemerintah daerah, keuangan negara, perbendaharaan negara termasuk juga peraturan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Sehingga apabila hal tersebut berbenturan, maka otomatis secara asas hukum berlaku asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (hukum yang tinggi  mengesampingkan hukum yang rendah), yang mana artinya Perpres pengadaan barang dan jasa harus dikesampingkan. Padahal, Perpres tersebut merupakan rujukan atau aturan dari pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun