Akhir-akhir ini istilah moderasi beragama sering terdengar. Meskipun istilah tersebut baru muncul belakangan ini, namun gagasan dan semangat moderasi beragama sudah ada sejak dulu dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Indonesia sebagai bangsa yang multikultural memiliki berbagai keanekaragaman suku, ras, agama/kepercayaan, tradisi, budaya serta bahasa. Dengan keberagaman itulah moderasi beragama diperlukan guna menjaga keharmonisan antara hak beragama dan komitmen berbangsa dan bernegara.Â
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kaltim, H. Asmuni Ali, mengungkapkan komitmen utama moderasi beragama adalah toleransi dan menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang dapat mengancam kehidupan beragama serta berimbas terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keberagaman merupakan sunnatullah, sebuah anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri, karena dengan keberagaman ini menjadi peluang untuk saling menghormati dan mengasihi. Keberagaman memungkinkan seseorang dapat mengambil jalan tengah dalam segala hal. Banyak yang terjebak dalam suatu paham. Ketika pilihan yang ada tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, masih ada pilihan lain yang dapat ditempuh. Jalan tengah inilah yang dimaksud dengan moderasi bergama.
Lalu yang dimaksud dengan moderasi beragama itu apa sih? Moderasi beragama dalam Islam dikenal dengan istilah "wasathiyah". Dalam bukunya yang berjudul "Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama", Prof. Quraish Shihab menjelaskan kata Wasath berarti pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini juga memiliki arti adil, baik, terbaik, dan paling utama.
Dalam KBBI, kata "moderasi" diartikan sebagai penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini merupakan serapan dari kata "moderat", yang berarti sikap menghindari perilaku yang ekstrem, dan cenderung ke arah jalan tengah. Ketika kata "moderasi" disandingkan dengan kata "beragama", maka istilah tersebut merujuk pada sikap menghindari kekerasan atau keekstreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.
Gabungan kedua kata itu mengacu pada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pada hakikatnya pesantren sebagai sumber pendidikan akhlak dan moralitas, bersifat multikultural. Dalam suatu pesantren, terkadang santri berasal dari daerah yang berbeda-beda, dengan latar belakang budaya yang berbeda pula.Â
Dalam hal inilah, moderasi beragama perlu ditanamkan dalam diri para santri agar setiap kali membahas suatu hal yang pro kontra, santri bisa bersikap moderat atau mengambil jalan tengah.
Santri diharapkan menjadi ummatan washatan, sesuai dengan Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi "Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) 'umat pertengahan' agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." Ummatan wasathan disini berarti para santri harus bersikap moderat atau berada pada jalan pertengahan, tidak ekstrem kanan maupun kiri.
Cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Quraish Shihab mengungkapkan setidaknya ada tiga hal yang diperlukan untuk mewujudkan moderasi beragama. Pertama, memiliki pengetahuan. Sejatinya, manusia diberi akal oleh Allah SWT. agar manusia senantiasa berada dijalan yang lurus. Dengan akal, manusia bisa mengembangkan pengetahuan.Â