Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinis di Hari Ibu, Kenapa?

23 Desember 2020   15:32 Diperbarui: 23 Desember 2020   15:42 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sepucuk surat dan roti dari anak-anakku di hari Ibu (Dokpri)

Tanggal 22 Desember menjadi salah satu tanggal yang istimewa di Indonesia. Pada tanggal ini masyarakat bersukacita merayakan hari Ibu dengan berbagai cara. Ada yang mengucapkan kata-kata manis di media sosial, memposting foto bersama ibu, ada yang memberi kado spesial untuk ibu, ada yang meluangkan lebih banyak waktu untuk ibu atau sekadar memeluk dan memberi kecupan sayang untuk ibu. Apapun itu bentuknya, yang jelas hari Ibu dianggap sebagai hari yang sangat istimewa bagi seorang perempuan bergelar Ibu.

Saya mungkin salah satu dari sekian banyak orang yang tidak terlalu mengkhususkan tanggal 22 Desember ini. Meski saya sendiri seorang ibu, tapi tidak berharap lebih di tanggal ini. Masih sama seperti tanggal-tanggal lainnya, tetap menjalankan peran ibu sebagaimana mestinya seperti memasak, bekerja, mengurus rumah, mengurus suami dan anak, dll.

Meski demikian, bukan berarti saya anti hari Ibu kok. Saya tetap turut bahagia saat membaca postingan teman-teman tentang ibunya. Tidak dapat dimungkiri, di tanggal 22 Desember akan selalu banjir postingan yang mengharukan, membahagiakan dan penuh cinta kasih sayang tentunya. Bukankah ini salah satu bentuk positive vibes ya  di media sosial ya ?

Namun, bukan kehidupan namanya, kalau tidak ada pro dan kontra. Meski secara eksplisit hari Ibu lebih banyak menuju ke hal-hal yang positif, kenyataannya masih ada juga beberapa kelompok orang yang kontra dengan peringatan hari Ibu dengan berbagai alasan. Ada yang menganggap hari Ibu tidak sesuai dengan ajaran agama tertentu sampai mengeluarkan dalil-dalil yang seolah membenarkan pendapat mereka, ada yang beralasan bahwa untuk menyayangi ibu tidak harus di tanggal 22 Desember, ada yang bilang peringatan hari Ibu adalah produk kaum hedonis, ada juga yang mempertanyakan bahwa setiap hari kemana saja ? kok sayang ibu cuma sehari saja ? dan masih banyak lagi pendapat-pendapat sinis nan nyinyir yang seolah memang sengaja dimunculkan untuk mengkritisi peringatan hari Ibu.

Saya pribadi bukan yang mengistimewakan hari Ibu, tapi juga tidak anti terhadap hari Ibu. Saya lebih senang mengambil sisi positifnya. Dengan adanya peringatan hari Ibu, saya jadi lebih ingat kepada ibu, lebih mendapat sugesti positif dari postingan-postingan yang positif dan lebih menghargai diri saya sendiri sebagai ibu.

Dan dibalik pendapat-pendapat kontra tersebut, saya ingin berbagi sedikit perasaan sebagai seorang ibu tatkala anak-anak saya memberikan kejutan kecil untuk saya tepat di tanggal 22 Desember. Sepucuk surat cinta berisikan terimakasih mereka dan sebungkus roti seharga seribu rupiah yang diletakkan diam-diam di atas bantal tidur saya ternyata mampu membuat saya terharu dan menaikkan hormon dopamin atau hormon bahagia dalam diri saya. Kejutan yang tidak saya sangka-sangka ternyata mampu membantu rasa lelah yang saya rasakan dan mengurangi stress selama ini.

Bukan tentang harga kejutannya tapi lebih ke nilai dan makna yang terselip dibalik kejutan itulah yang membuat saya bisa tersenyum bahagia. Saya merasa dicintai dan berarti di hati anak-anak saya. Bukankah itu merupakan penghargaan yang mewah bagi seorang ibu ?

Nah, barangkali hal-hal inilah yang kurang disadari oleh para pemilik pendapat kontra tentang peringatah hari Ibu. Atau mungkin sadar namun kerap dianggap remeh ? ah, ibuku tidak pernah ingat hari Ibu kok. Ah, ibuku tak mengharapkan hadiah dari anak-anaknya kok. Ah, setiap hari aku sudah membantu ibuku kok. Ah, ibuku orang yang paling ikhlas kok nggak mengharap balas apapun dari anak-anaknya, dsb.

Kenapa paradigmanya tidak coba untuk dibalik, "sekali-kali beri kejutan spesial ah untuk ibu..." atau "saya akan beri tanpa ibu meminta..." atau "setiap hari bantu ibu, hari ini coba buat ibu nangis bahagia ah..." dsb. Bukankah lebih indah ?

saya yakin, mereka yang memperingati hari Ibu juga memahami bahwa untuk menyayangi ibu bukan di tanggal 22 Desember saja, tapi setiap hari. Tapi untuk sesekali menyenangkan ibu setelah setiap hari menjalankan tugasnya juga bukan sesuatu yang salah, bukan ? terbukti, saya yang tidak mengistimewakan hari Ibu ternyata juga tetap merasa bahagia dan terharu kok ketika anak memberi sesuatu yang berbeda di tanggal 22 Desember. Pun dengan ibu-ibu lainnya, meski tidak mengharap apapun di hari Ibu pasti akan merasa bahagia dan terharu kala anak-anaknya memberi kejutan yang berbeda di tanggal 22 Desember.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun