Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peluru Hanya Bisa Menewaskan Teroris, tapi Pendidikan yang Bisa Melenyapkan Paham Terorisme

18 Mei 2018   23:32 Diperbarui: 18 Mei 2018   23:38 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber:foto: Shutterstock)

Masih teringat jelas di benakku, Oktober 2010 yang lalu. Di suatu siang, dalam perjalanan dari Sei Rampah menuju Tebing Tinggi dengan naik angkot bersama beberapa kawan perempuan dan anakku. Sebenarnya kami masih dalam keadaan sedikit takut untuk keluar rumah sebab kabarnya teroris sedang masuk wilayah Dolok Masihul yang lokasinya masuk wilayah kabupaten kami.  Namun, karena suatu keperluan dan kebutuhan yang mendesak, mau tak mau kami memutuskan berangkat juga menuju kota Tebing Tinggi yang cukup dekat dengan Dolok Masihul, dimana teroris dikabarkan tengah bersarang.

Cuaca yang terik dengan diselimuti suasana yang tegang mengiringi perjalanan kami. Angkot yang kami tumpangi dalam keadaan kosong. Hanya ada aku, dua kawanku dan anakku serta satu lagi seorang ibu setengah tua. Namun, sesampainya di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Sei Bamban, angkot sempat berhenti karena menaikkan penumpang baru. 

Penumpang kali ini agak berbeda. Laki-laki, penampilannya berjenggot, bercelana 7/8 warna putih lusuh, sedikit kurus dan mengenakan lobe serta menyandang sebuah ransel hitam. Seperti yang sudah-sudah diberitakan, penampilan seperti itu sangat identik dengan penampilan seorang teroris. Sebagai awam, tentu aku sedikit punya perasaan takut meski berusaha tetap biasa saja.

Untuk menghilangkan bosan selama perjalanan, aku dan kawanku sempat ngobrol. Kebetulan yang kami obrolkan kala itu adalah tentang rencana kami hendak mengurus SIM A di Polres Serdang Bedagai. Namun tiba-tiba, penumpang laki-laki berjenggot tersebut terlihat marah dan menggebrak dan menendang beberapa kali kotak sound system yang ada di dalam angkot. 

Meski tak ada kata-kata yang terlontar dari mulutnya, namun sangat jelas nampak kemarahannya. Seketika kami terkejut dan terdiam seribu bahasa bercampur ketakutan. Sepertinya dia tak suka kami membicarakan tentang kepolisian. Itu yang aku tangkap dari sikap emosionalnya.

Begitu angkot telah sampai di pemberhentian akhir (terminal Tebing Tinggi), laki-laki itu kembali menunjukkan sikap yang aneh. Ia tiba-tiba menerobos berusaha keluar angkot duluan secara paksa. Padahal posisi duduknya ada di ujung paling belakang. Sontak kami saling berjatuhan karena terkena desakannya. Bahkan anakku pun sempat terjungkal karenanya. Di tengah rasa geram dengan ulahnya, laki-laki itu tampak tak punya rasa peduli dan langsung ngeloyor pergi begitu saja ke arah kota Tebing Tinggi (atau Dolok Masihul ?).

Kami begidik. Aku tak tahu apakah dia bagian dari teroris yang ada di Dolok Masihul atau bukan. Yang jelas pengalaman kali ini sungguh melekat di benakku dan berhasil membuatku sedikit trauma dengan fakta teroris sebab selang tak seberapa lama tersiar berita adanya baku tembak antara kepolisian dengan para teroris yang bersarang di dalam perkebunan kelapa sawit di Dolok Masihul kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara.

Ketika aku ingin menolak bahwa yang kutemui dalam angkot bukanlah seorang teroris, sebab pakaiannya sungguh menggambarkan ketaatan dalam Islam, namun sikapnya yang tidak peduli dan kasar terhadap perempuan dan anak-anak membuatku tak lagi memandang ketaatan hanya dari segi pakaian dan penampilan.

Pengalaman kurang lebih 8 tahun silam semakin menguatkan deskripsiku tentang seorang teroris. Bahwa seorang muslim yang sebenarnya sejatinya berhati lembut dan sangat peduli dengan perempuan dan anak-anak. Tapi teroris tidak demikian. Bahwa teroris berhati kejam dan tidak mengenal apa, siapa dan bagaimana adalah jelas tergambar pada perilaku laki-laki dalam angkot tersebut. Dogma dan pemahaman yang ekstrim dan menjurus pada ketidaklaziman sepertinya sudah mendarahdaging dalam tubuh mereka. Mereka seperti tidak bisa lagi membedakan mana saudara mana lawan. Semua yang dianggap tidak berpihak pada ajaran mereka adalah musuh dan harus disingkirkan.

Saya seorang muslimah merasa sangat merugi akibat ulah para teroris. Saudara-saudara saya yang berhijab panjang dan mengenakan cadar serta yang bercelana gantung dan berjenggot terkena imbasnya. Stigma negatif melekat kuat bahwa mereka yang berpenampilan seperti itu tak lain adalah penganut paham radikal yang merupakan salah satu cikal bakal teroris. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Sejatinya mereka adalah seorang muslim/muslimah yang hanya mencoba berusaha kaffah dalam mendalami Islam yang santun, indah dan penuh kelembutan.

Lantas bagaimana kita harus mensikapi fakta keberadaan teroris di negeri tercinta ini ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun