Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ada Apa dengan Jiwasraya?

19 Januari 2020   13:59 Diperbarui: 19 Januari 2020   14:02 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada Apa dgn Jiwasraya ?

Kasus JIWASRAYA (JS) ini terjadi menurut saya karena pasca adanya konvergensi / perkawinan program asuransi (perlindungan) disatu sisi dengan program investasi di sisi lain. Karna itu dalam konteks kinerja korporasi asuransi, saya menyimpulkannya sebagai bisnis rekayasa keuangan. Tapi dalam "dumia keuangan" dikenal juga diksi "window dressing" (WD). Apa gerangan "WD" ini?

Diksi WD ini diartikan sebagai seni memoles neraca agar nampak korporasi berkinerja baik sebelum dilaporkan pada pemegang saham (ingat neraca Garuda yang tidak mau di tandatangani oleh CT (CaerulTanjung) sebagai  salah satu pemegang saham), caranya bisa macam macam, bisa rekayasa harga saham di bursa, transaksi fiktif sampai bayar akuntan public. Dlm konteks JS mungkinkah dilakukan WD, karena ada  lembaga pengawas sekaligus regulator OJK (Otoritas Jasa Kenangan), Bapepam dan Kemen BUMN sbg pemegang saham ?

Dari penjelasan pr pihak Direksi (lama dan baru) nampaknya  ada berapa program JS yangga juga dibuat dan dilakukan dgn sepengetahuan pihak pihak terkait, termasuk OJK, artinya jikapun dilakukan WD  pemolesan laporan keuangan -- quod non--- sudah dengan sepengetahuan dan "persetujuan" otoritas. Artinya Direksi JS terbebas dr ancaman pidana laporan palsu vide Psl 74 UU ttg Perasuransian & OJK (korporasi asuransi  dilarang membuat laporan palsu pd OJK, diancaman hukuman pidana 5th).

Dari perspektif ini mk fungsi pengawasan OJK terhadap JS tdk ketat, shg meski OJK mengetahui laporan JS direkayasa (palsu), ttp tdk diproses hukum. Keterlibatan dlm arti sistemik (pengawasan tdk ketat) OJK punya andil jg dlm kasus gagal bayarnya JS. Tetapi klo secara pidana hrs dibuktikan dulu apakh ada oknum OJK yg menerima suap atau gratifikasi dr JS.

Persoalan lain adalah bahwa semua putusan pengelolaan JS yang telah diambil (termasuk juga jika ada WDnya) ada pada ranah business judgment rule. Sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menemukan penyimpangan dalam laporan JS yang gagal bayar itu pada pemilihan investasi JS pada perusahaan abal-abal. Dengan fakta ini,  maka pertanyaanya: Dapatkah "keputusan bisnis" pengelolaan JS (dengan laporan keuangan yang direkayasa) dikriminalisasi / dipidanakan ?

Secara umum "resiko bisnis" tidak mudah untuk dibawa ke ranah pidana. Tetapi dalam konteks hukum korporasi, ada dua teori yang menurut saya bisa menembus "business judgment rule" yaitu teori piercing the corporate veil & teori ultra vires.

Teori yang pertama: asas yang menembus tanggung jawab terbatas para pihak (direksi, komisaris & pemegang saham PT) dalam tindakan-tindakan tertentu yang tidak beritikad baik, melawan hukum dan menggunakan aset korporasi sehingga korporasi gagal bayar.  Teori yang kedua dapat membuktikan bahwa disetiap putusan bisnis PT. JS melekat juga kepentingan pribadi  pengambil keputusan seperti Direksi, komisaris & penegang saham, misalkan penunjukan langsung pada korporasi kerabat atau tender yang tidak jujur (kedua teori ini sudah masuk menjadi norma dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

Dengan ketentuan itu, maka sepanjang ketika Direksi dalam mengambil putusan mengandung unsur unsur dari dua ketentuan ini, maka terbuka kemungkinan untuk mempidanakan pihak pihak yang berperan mengambil putusan (Direksi, komisaris & Pemegang saham,) apalagi dalam konteks BUMN sudah ada audit kerugian negaranya dari BPK.  Demikian juga jika ada fakta bahwa para Direksi itu menerima "return' dari putusannya, maka hal itu bisa diletakan sebagai gratifikasi atau bahkan suap.

Namun yang lebih penting dari itu,. bagamana Negara hadir dalam komteks mengembalikan Dana masyarakat/nasabah dan mengembalikan "kepercayaan public" pada bisnis asuransi. Wallahu alamu bishawab (8120)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun