Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Golput: Perspektif Hukum Pidana

2 April 2019   13:55 Diperbarui: 2 April 2019   14:17 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golput : Perspektif Hukum Pidana

Abdul Ficar Hadjar[1]

Diksi "golput" atau golongan putih akan selalu mnjadi populer setiap kali menjelang dilaksanakannya pemilu. Tidak semua jenis pemilu muncul golput, diksi ini hanya muncul pada momen pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Tidak bisa disangkal pendekatan historis akan memunculakan nama Arif Budiman aktivis dan akademisi Universitas Satyawacana sbg pelopor "gerakan" ini, meski tak juga bisa dipungkiri secara substantif gerakan golput ini juga muncul pada masa lalu dengan diksi dan terminologi yang berbeda.

Konteks golput adalah protes terhadap situasi pemilihan, memilih untuk tidak memilih, memilih tidak menggunakan hak untuk memilih. Pada waktu yang lalu pemilihan sikap ini didasari pada protes terhadap dominasi calon presiden petahana yang menggunakan otiritasnya secara otoriter. Namun bisa juga muncul karna calon presiden yang ada tidak memenuhi kriteria para golputer, tidak punya kapasitas, tidak kapabel atau tidak demokratis. Artinya golput muncul karna tidak ada pilihan alternatif, karna itu hipotesa yang muncul makin sedikit jumlah calon presiden, akan makin banyak melahirkan jumlah golput meskipun tidak selamanya golput berkorelasi dengan jumlah calon presiden.

Tidak ada satupun ketentuan dalm undang-undang pemilihan umum (baik undang-undang yang lalu maupun yang terbaru yaitu  Undang-Undang No.7 Tahun 2017) yang mengatur tentang golput ini, menjadi sangat mungkin dasar pikirannya adalah bahwa pemilu sebagai pengejawatahan sistem pemerintahan demokratis adalah "hak & kebebasan" masyarakat, warga negara atau rakyat untuk memilih ataupun tidak memilih wakilnya ataupun pemimpinnya dari tingkat yang paling rendah pemilihan Kepala Desa sampai pada tingkat yang paling tinggi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mengingat golput itu hak & kebebasan individu, maka ketika sengaja tidak digunakan maka tidak ada satu pihakpun yang dirugikan dan karena itu pula tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dijadikan argumen mengkriminalisasi tindakan golput. 

Ketentuan yang sangat mungkin berkorelasi dengan golput adalah  Pasal 510 Undang-Undang No. 77 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24 juta."

Ketentuan pasal ini jelas tidak dapat diterapkan pada mereka yang memilih golput, karna untuk memenuhi unsur pasal tersebut mensyaratkan adanya tindakan orang lain yang secara paksa menyebabkan hilangnya hak orang lain. Faktor paksaan  dalam hal ini bentuknya dengan menghalangi secara pisik dengn cara menahan atau menugaskan seseorg ke suatu tempat yang secara ukuran jarak dan waktu tidak mungkin ikut melakukan pencoblosan. Demikian juga kalau mengajak golput ditafsirkan mengacau dan mengancam hak kewajiban orang lain adalah tafsir yang ngawur yang dapat dipastikan bahwa tafsir itu didasarkan pada kepentingan kepentingan tertentu, apalagi kemudian dihubungkan dengan UU terorisme, tidak bisa dan tidak berdasar sama sekali.

Kriminalisasi
Dalam teori hukum pidana tradisional, terdapat pembedaan dua terminologi pidana "mala in-se" dan "mala in prohibita", satu yang pertama berarti tindakan yang jahat karena tindakan itu sendiri (evil in itself) sedangkan yang kedua "mala prohibita" berarti tindakan yang disebut jahat karna dilarang oleh hukum positif oleh Undang-Undang atau oleh peraturan perundang-undangan lainya. Artinya tindakan yang disebut kejahatan semula bukanlah kejahatan sampai kemudian terjadi  "kriminalisasi" terhadp tindakan itu menjadi kejahatan yang dilarang oleh hukum positif. 

Dalam konteks ini misalnya perbuatan "berbohong" adalah bukan kejahatan sampai ia dapat dibuktikan merugikan orang lain atau masyarakat. Berbohong terhadap seorang individu misalnya bisa diancamkan pasal penipuan atau penggelapan (Vide psl 372 / 378 KUHP), atau berita bohong atau berita yg dipotong potong dan menyebabkan terjadinya keonaran (Vide psl 14 & 15 Undang-Undang No.1 Thn 1946) atau jika bohong itu dilakukan melalui informasi atau dokumen elektronik dan merugikan konsumen (psl 28 ayat 1UU ITE).

Bagaimana dengan Golput bahkan mengajak golput, apakah bisa dipidanakan, dikriminalisasi ? sebagaimana dijelaskan diatas, golput adalah hak lebih tepatnya hak politik, yaitu hak memilih khususnya pimpinan negara. Hak politik telah diatur dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang pada Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa "setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya". Atas dasar itu, maka tidak memilih merupakan pilihan dari bentuk aspirasi politik. Sedangkan dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pada Pasal 515 menyatakan "... Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dapat dipidana ..." Peserta Pemilu adalah Partai politik dan anggota parpol yang mencalonkan diri, calon anggota DPD dan tentu saja Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Artinya aturan itu tidak mengikat mereka yang memilih Golput yang biasanya masyarakat biasa yang bukan peserta pemilu.  Artinya, memang tidak ada aturan yang melarang Golput, demikian juga jika tetap berpijak pada UU HAM maka hak politik seseorang tidak dapat diganggu, karena itu melekat secara pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun