Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Fenomena PK Koruptor

28 Maret 2019   13:08 Diperbarui: 28 Maret 2019   13:23 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

FENOMENA  PK Terpidana Korupsi [1]

 

Abdul fickar hadjar[2]

 

Ada gejala cukup banyak terpidana kasus korupsi mengajukan Peninjauan Kembali (PK), buat KPK atau penegak hukum lain, saya kira bukan alasan yang bisa meninmbulkan ke khawatiran, mengingat kita percaya bahwa kekuasaan kehakiman atau para hakim di Mahkamah Agung (MA) akan bersikap independen dan imparsial dalam memproses perkara-perkara sidang PK beberapa terpidana perkara korupsi tersebut. Di sisi lain PK merupakan  hak terpidana, untuk mengajukan upaya hukum luar biasa itu. Kita menunggu dan menyimak bagaimana proses sidangnya, karena sampai saat ini saya belum mendengar ada putusan PK yang ramai diajukan oleh para koruptor.

Dari rangkaian prosesnya, saya yakin dengan konstruksi masing-masing kasus karena memang sudah diuji dalam proses yang panjang. Pengujian di pengadilan tingkat pertama, serangkaian pembuktian baik dari jaksa maupun dari pihak para Terdakwa dan penasihat hukumnya telah melalui proses yang transparan, yang kemudian diputus oleh hakim. Kemudian diuji kembali di tingkat banding dan kasasi sampai berkekuatan hukum tetap.

Deretan terpidana perkara korupsi yang tercatat mengajukan PK antara lain: mantan menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM) Jero Wacik, pengusaha Andi Zulkarnain Anwar alias Choel Mallarangeng, mantan menteri agama Suryadharma Ali, mantan menteri kesehatan Siti Fadilah Supari, dan mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta mantan Ketua DPD Irman Gusman. PK ini umumnya diajukan pada momentum pasca pensiunnya hakim agung Artijo Alkostar.

Secara yuridis bukan merupakan problema, karena dalam system hukum acara pidana dimungkinkan para terpidana melakukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali sebagai upaya untuk mencari dan mewujudkan keadilan bagi dirinya. Apalagi Mahkamah Konstitusi[3] dalam perspektif HAM kemudian memberikan peluang untuk melakukan PK tidak hanya satu kali, yang dasar pemikirannya adalah upaya untuk mencari dan mewujudkan "rasa keadilan" tidak boleh dibatasi oleh waktu. Lalu apa masalahnya ? Barangkali pertanyaan yang bisa diajukan : Mengapa baru sekarang (pasca pensiunnya hakim agung Artijo) dan dalam waktu yang bersamaan para terpidana mengajukan PK ?

Fenomena PK

Perkatan mengapa, mensiratkan apa sebenarnya yang menjadi factor penyebab para Terpidana Korupsi mengajukan upaya hukum luar biasa PK  pada waku yang sama. Tentu saja bisa merupakan persilangan banyak factor baik sosiologis, psikologis dan yuridis. Beberapa factor antara lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun