Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Prostitusi Online dan Tindak Pidana Pencucian Uang

25 Januari 2019   21:56 Diperbarui: 25 Januari 2019   22:06 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Abdul Fickar Hadjar

Diskursus tentang dapatkah pelaku prostitusi (online) terjerat hukum, menjadi menarik pasca tertangkapnya dua artis ibukota oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur. Terhadap dua muncikari sebagai pihak yang memfasilitasi prostitusi dan menjadikan kegiatannya sebagai mata pencaharian secara jelas hukum pidana (KUHP) menjeratnya berdasarkan Pasal 296 jo Pasal 506 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal satu tahun empat bulan. Meski ancaman di bawah lima tahun hukum acara pidana (KUHAP) menentukannya sebagai kejahatan yang dapat dilakukan penahanan.

Muncul persoalan mengapa hanya muncikari yang terjerat, sementara pelaku prostitusi dalam hal ini pekerja sex komersil dan pengggunanya tidak dapat dijerat KUHP ? Sepertinya "hukum pidana" Indonesia tidak adil dan diskriminatif. Ketentuan Pasal 506 KUHP berada di bawah pengaturan Bab tentang Ketertiban Umum bersama pengaturan tentang pembuat keributan, pengemis, dan gelandangan yang keseluruhan ancaman hukumannya adalah kurungan. Sangat mungkin karena hal ini beberapa Pemerintah Daerah khususnya Pemda DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang dalam ketentuan pasal 42 ayat (2) mengatur bahwa diancam dengan hukuman minimal 20 hari dan maksimal 90 hari atau denda minimum 500 ribu rupiah dan maksimum 30 juta rupiah bagi a. Muncikari ( setiap orang yang menyuruh, memfasilitasi, membujuk atau memaksa orang untuk menjadi pekerja sex komersial), b.mereka yang menjadi pekerja sex komersial dan c.mereka yang menggunakan jasa pekerja sex komersial.

Tidak hanya itu, para pelaku prostitusi yang sudah terikat pada perkawinan juga bisa dijerat dengan ketentuan pasal 284 KUHP mengenai perzinahan, hanya saja tindak pidana perzinahan ini bersifat aduan, artinya jika pihak suami atau istri dari para pelaku perselingkuhan tidak mengadukan, maka para pelaku proistitusi itu bebas dar jeratan hukum.  Demikian halnya dalam konteks prostitusi online, maka jika bisa dibuktikan "inisiasi" pemarasan online atas permintaan pekerja seks komersial (PSK), maka ketentuan pasal 55 KUHP bisa diterapkan kepada PSK sebagai pelaku peserta yang menyuruh muncikari untuk menayangkannya pada ranah online.

Hal yang menarik sebenarnya kejahatan prostitusi ini berpotensi juga melanggar tindak pidana pencucian uang, jika uang yang dihasilkan dari kejahatan kemudian sengaja  disamarkan. Prostitusi termasuk tindak pidana asal yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) hurup u Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU-TPPU) atau tindak pidana ke 21 dari 25 tindak pidana asal yang  disebutkan dalam undang-undang. Penjelasan UU-TPPU menyebutkan yang  dimaksud  dengan  "prostitusi"  adalah  prostitusi sebagaimana   dimaksud   dalam   Kitab   Undang-Undang Hukum    Pidana    dan    undang-undang    mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (UU-TPPO). Artinya UU-TPPU hanya mengakui pengertian "prostitusi" dalam KUHP dan UU TPPO saja sedangkan pengertian "prostitusi" dalam aturan lain termasuk dalam Peraturan Daerah umumnya dan Perda DKI Jakarta khususnya tidak dapat diproses sebagai tindak pidana pencucian uang, meskipun secara subtantif prostitusi yang diatur dalam peraturan apapun adalah sama.

Inkonsistensi UU TPPU

 Tidak hanya soal pengertian "prostitusi" yang inkonsisten, UU-TPPU juga menyimpan lofthole lainnya yang pada gilirannya akan melahirkan kekaburan dan ketidak pastian hukum. Sebagai contoh penentuan jenis 25 tindak pidana asal yang berpotensi melahirkan pencucian uang dengan parameter yang tidak jelas, disatu sisi membatasi tindak pidana yang ancaman hukumannya minimal 4 tahun (Pasal 2 ayat 1 huruf z UU-TPPU) dilain pihak ada ancaman hukuman di salah satu atau dua dari 25 tindak pidana asal yang ancaman hukumannya dibawah 4 tahun, yaitu Prostitusi yang ancaman pidananya hanya 1 tahun 4 bulan penjara (pasal 296 KUHP) dan perjudian yang ancaman hukumannya 2 tahun 8 bulan (Pasal 303 KUHP). 

 Tujuan dibuatnya UU-TPPU selain mengejar dan menghukum pelaku, juga dimaksudkan untuk merampas harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana asal yang kemudian harta kekayaan asal tersebut disamarkan atau dikaburkan atau dicuci seolah-olah harta kekayaan yang diperoleh secara legal. Oleh karena itu, seharusnya semua kejahatan yang bermotif ekonomi harus dijadikan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang berapapun ancaman hukuman pidananya, sehingga pembatasan tindak pidana asal minimal yanbg ancaman hukuman pidananya  4 tahun menjadi tidak beralasan dan harus diamandemen.

 Demikian halnya dengan soal siapa yang punya kewenangan dan sekaligus kemampuan untuk menyidik TPPU ? Pasal 74 UU-TPPU menyatakan bahwa penyidikan  tindak  pidana  Pencucian  Uang  dilakukan  oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara   dan   ketentuan   peraturan   perundang-undangan. Namun dalam penjelasan pasal 74 ini justru nampak perubahan terselubung atau lahirnya norma baru yang mengenyampingkan batang tubuh pasal 74 ini, yaitu menentukan bahwa justru pengertian "penyidik tindak pidana asal" itu dibatasi secara terbatas hanya pada Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia, Kejaksaan,  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  (KPK),  Badan  Narkotika Nasional  (BNN),  serta  Direktorat  Jenderal  Pajak  dan  Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Ini artinya penjelasan pasal 74 telah meredusir norma pokoknya, hal yang demikian berdasarkan UU No.12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-undangan harus dibatalkan.

Penjelasan pasal 74 UU-TPPU ini harus dihapus dan dibatalkan begitu pendapat Ahli Pidana dari Universitas Gajahmada Prof. Eddy OS Hiariej, karena pasal 74 justru memberikan penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara   dan   ketentuan   peraturan   perundang-undangan. Penyidik tindak pidana asal tersebut adalah penyidik yang berwenang menangani tindak pidana korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; tindak pidana di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian;  prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan;  di bidang lingkungan hidup;  di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak  pidana  lain  yang  bermotif ekonomi tanpa mempertimbangkan jumlah ancam pidananya.

Ya, potensi TPPU memang bisa timbul pada kejahatan sekecil apapun, karena memang kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan yang berkaitan dengan dampak ekonomi. Sehingga, semua kejahatan asal di dalam tindak pencucian uang, bermotif ekonomi, dan menyimpan nilai ekonomi yang sangat besar. Masyarakat harus mengetahui dan mengawasinya, karena itu kampanye tentang apa dan bagaimana kejahatan pencucian uang mesti diketahui banyak orang, paling tidak jika anda menyaksikan film layar lebar "Milly dan Mamet" secara sederhana akan mengerti apa itu cuci uang ketika sebuah konglomerasi secara antusias masuk ke bisnis cafresto skala kecil. Smoga kesadaran kita bisa membantu mengembalikan kekayaan Negara yang terus mengalir kepada pihak yang tidak berhak.(25119)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun