Tak hanya sekadar berkumpul, tak hanya sekadar perayaan, melainkan menjadi wujud nyata dari rasa cinta terhadap leluhur dan komitmen dalam menjaga nilai-nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Gelar budaya Santibadra yang diselenggarakan pada Rabu, 26 Juni 2025 oleh Putra Wayah Lasem yang bertempat di halaman Punden Tapaan Mpu Santibadra, Dukuh Ngasinan, Desa Warugunung, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang merupakan tradisi yang terus hidup dan tumbuh, menapaki jejak leluhur dari masa ke masa.Â
Tradisi ini tak sekadar menghadirkan simbol-simbol budaya, melainkan menghidupkan kembali nilai yang terkandung di dalamnya melalui rangkaian kegiatan yang sarat makna. Pagelaran dimulai dengan Kirab Pataka Bumi Jawi, sebuah prosesi budaya yang menjadi bagian dari jejak panjang tradisi lokal. Barisan kirab menampilkan pembawa panji budaya yang diikuti sosok simbolik Dewi Indu Purnamawulan. Di belakangnya, barisan prajurit kerajaan, pemikul gunungan palawija, hingga masyarakat berpakaian adat jawa yang berjalan beriringan, ini bukan hanya sekadar arak-arakan tetapi wujud nyata dari menapaknya jejak sejarah yang diwariskan secara turun temurun dalam sebuah tradisi yang penuh makna.
Di balik langkah demi langkah dan simbol yang ditampilkan dalam kirab, tersimpan nilai-nilai luhur yang ingin terus dihidupkan. Inilah yang menjadi ruh utama dalam gelar budaya santibadra tahun ini. Pak Danang, selaku panitia penyelenggara sekaligus pelestari budaya menegaskan bahwa terdapat banyak sorot mata masyarakat yang antusias, mencerminkan adanya kesadaran bersama untuk merawat warisan budaya.
"Membangun kesadaran terhadap sejarah, seni dan budaya itu penting. Dari kesadaran itu, akan muncul semangat untuk menjaga, merawat dan melestarikan situs-situs budaya di sekitar kita. Kalau sudah terjaga, ke depan lokasi ini bisa dikembangkan sebagai embrio pariwisata yang kemudian akan berdampak pada perekonomian masyarakat", ungkapnya.
Rangkaian budaya yang dihidupkan melalui prosesi sakral, iring-iringan budaya, hingga ikon-ikon simbolik seperti gunungan palawija lebih dari sekadar bentuk penghormatan terhadap alam dan leluhur, tetapi juga sebagai refleksi dari cara masyarakat mengekspresikan nilai-nilai kehidupan. Sejatinya gunungan palawija merupakan representasi dari ungkapan syukur yang tulus dari masyarakat kepada alam yang telah memberi mereka kehidupan. Dari tanah pegunungan yang subur, tumbuh harapan dan penghidupan. Melalui simbol ini, mereka merawat hubungan spiritual dengan bumi yang telah menghidupi mereka melalui hasil pertanian dan perkebunan dari lereng-lereng gunung.
Sejatinya setiap elemen tradisi mengalirkan makna berupa ajakan untuk kembali menengok akar, mengajak masyarakat menyadari bahwa sejarah bukan cerita masa lampau saja tetapi sumber inspirasi dan kekuatan hidup. Dewi Indu Purnamawulan merupakan simbol yang tak hanya menampilkan keindahan visual, namun di baliknya tersimpan narasi tentang kejayaan Lasem di era Majapahit, ketika wilayah ini menjadi bagian penting dari pusat peradaban. Jejak-jejak itu kini dihidupkan kembali di bumi Warugunung, tidak sekadar hanya untuk dikenang tetapi untuk dimaknai dan diteruskan dari tahun ke tahun.Â
Lebih dari sekadar perayaan tahunan dalam tradisi suro, gelar budaya santibadra adalah upaya untuk dengan sadar menanamkan nilai bahwa kearifan lokal bukan sesuatu yang usang yang dilestarikan demi romantisme saja tetapi kekayaan yang apabila dirawat dapat menjelma menjadi kekuatan sosial, budaya, bahkan ekonomi. Warisan budaya tak cukup hanya dengan dikenang, tetapi harus dihidupkan kembali dalam tindakan yang berkelanjutan.
Lasem sebagai kota pusaka, bukan berarti hanya ruang untuk mengenang sejarah, melainkan ruang hidup bagi praktik kebudayaan yang terus tumbuh dan berkembang ke arah lebih baik. Maka, kegiatan ini tak sekadar memperingati, tetapi sebagai ruang untuk mengisi dan menghidupkannya agar sesuai dengan perkembangan zaman.Â
Harapannya, gelar budaya seperti ini dapat terus berkembang menjadi embrio tradisi serupa di tempat lain dan menjadi sumber kekuatan, baik secara budaya, sosial, maupun ekonomi bagi masyarakat. Sebab dari jejak yang ditapaki dengan kesadaran, maka akan lahir nafas-nafas baru yang memberi kehidupan bagi generasi mendatang.Â
Gelar budaya santibadra bukan hanya sekadar menghidupkan jejak-jejak tradisi leluhur tetapi juga menghidupkan kembali makna-makna didalamnya dalam setiap hembusan nafas kehidupan sebagai warisan yang terus dijaga. Maka dari itu, masyarakat tak sekadar menjadi pewaris budaya, melainkan juga penjaga kehidupan yang lebih bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI