Bedug bertalu-talu, Takbir berkumandang itu lah tanda yang sahih bahwa Lebaran telah tiba. Idul Fitri yang selama ini selalu dan memang bermakna kembali ke kesucian awal, ditandai dengan silaturahmi agar bisa saling bermaafan secara langsung, tidak hanya melalui Instant Massage yang di broadcast dari gadget masing-masing.
Lebaran A.ka Idul Fitri  dengat semangatnya untuk saling memaafkan banyak diharapkan mampu menjadi katalisator bagi rekonsiliasi sosial yang beberapa saat belakangan ini terpolarisasi sangat tajam. Pilihan politik terutama pilpres menjadi toxic berdosis tinggi dalam meracuni pikiran dan hati para pemilih berbeda pilihan.
Seandainya esensi memaafkan berdasarkan keikhlasan dan ketulusan mampu bisa dimanifestasikan dengan baik oleh kedua kubu yang berbeda pilihan. Maka rekonsiliasi akan menjadi hal yang sangat mudah. Kenyataannya, polarisasi yang terjadi memang sengaja dipelihara entah demi kepentingan apa.Â
Mungkin apabila kita lihat di permukaan hanya karena berbeda pilihan presiden, walau menurut penglihatan dan pengamatan penulis ini bukan semata masalah pilpres.Â
Ada sesuatu "beyond pilpres" yang membuat polarisasi ini memang sengaja di pelihara. Ada kepentingan politik jangka panjang terkait politik identitas, yang mendasarinya.Â
Apakah ini berupa keyakinan tentang sistem bagaimana kita bernegara? Perlu penelitian lebih dalam sih memang tetapi apabila kita analisa sekilas dari diskursus-diskursus di media baik itu yang mainstream atau platform medsos.Â
Polarisasi ini dipelihara agar pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap sistem pemerintahan Indonesia yang dipilih hari ini, punya ruang untuk terus mengaktualisasikan diri.
Bertemunya dua kepentingan yang seiring antara pihak yang merasa tidak  puas dengan kondisi yang terjadi, yang satu "merasa" karena kecurangan mereka kalah dalam pilpres dan satu lagi merasa niatnya untuk mengganti sistem pemerintahan tidak bisa terwujud karena organisasi bentukannya untuk tujuan tersebut di berangus pemerintah.Â
Dibumbui dengan mengerasnya politik identitas disebagian masyarakat Indonesia plus adanya medsos sebagai media penyampai isu-isu mereka yang efektif dan jangan lupa literasi masyarakat terutama para pendukungnya dalam memahami situasi politik sangat lemah, menjadikan peternakan polarisasi berkembang biak dengan cepat dan masif sehingga rekonsiliasi yang diharapkan bisa terjadi dengan cepat menjadi sangat sulit.
Idul Fitri yang  seharusnya dalam kondisi normal akan mudah dijadikan katalisator bagi rekonsiliasi sosial menjadi sangat sulit terjadi. Namun demikian apabila ada kesadaran dari para elite untuk tidak memprovokasi para pendukungnya dengan penyataan-pernyataan panas, alih-alih menyejukan, lambat laun rekonsiliasi sosial bisa terwujud.Â