Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau dikenal dengan nama Danantara yang rencananya akan diresmikan keberadaannya pada 24 Februari 2025, mendadak menjadi pembicaraan khalayak ramai, setelah di mention secara khusus oleh Presiden Prabowo dalam dua kesempatan, di World Government Summit 2025 dan acara puncak perayaan HUT Partai Gerindra ke-17 awal pekan ini.
Narasi Misleading
Sayangnya, keriuhan yang muncul lebih banyak sisi negatifnya, ekses dari upaya narasi misleading dari beberapa pihak yang bertebaran di dunia maya, hingga memicu ajakan untuk melakukan rush money atau bank runs di bank-bank BUMN yang nantinya akan dikonsolidasikan ke Danantara.
Ada yang menyebutkan Danantara menjadi semacam lembaga superbody yang tak bisa diawasi oleh siapapun dan tidak menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Oleh karenanya potensi moral hazard-nya membentang luas di institusi baru ini, bisa menjadi seperti 1 Malaysia Development Berhad (1MDB) lembaga investasi yang didirikan di masa Pemerintahan Najib Razak dan terkenal dengan aksi tipu-tipunya.
Bisa dipahami ada kekhawatiran tersebut, mengingat Danantara seperti diungkapkan Presiden Prabowo akan mengelola aset dan dana tunai dengan nilai cukup fantastis.
Rencananya aset awal yang akan dikelola kurang lebih sebssar 600 miliar Dolar Amerika Serikat(AS) atau senilai Rp10.000 triliun lebih ditambah initial funding mencapai 20 miliar dolar AS, hasil dari realokasi anggaran belanja pemerintah.
Dengan magnitude sebesar itu wajar lah kiranya jika menimbulkan sakwasangka negatif seperti itu, apalagi diimbuhi dengan isu-isu politik.
Pendirian Danantara sebagai Badan Investasi Negara lahir berdasarkan perubahan ketiga Undang-Undang BUMN Â atas Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN yang baru disahkan awal Februari lalu.
Oleh sebab itu, Danantara sebagai lembaga investasi negara dan dalam operasionalnya menggunakan uang yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah pasti menjadi domain pemeriksaan BPK atau BPKP, kalau tidak, itu melanggar Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang BPK.
Dan satu hal lagi, apabila dikemudian hari terdapat masalah korupsi, grativifikasi, atau upaya moral hazard lainnya, Danantara pun menjadi objek pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pendekatan seperti mereka mengawasi Kementerian dan Lembaga Negara lainnya.
Artinya narasi yang terkesan menyesatkan dengan menyebutkan bahwa Danantara seolah kebal hukum lantaran tak bisa diperiksa oleh BPK atau BPKP dan tak menjadi objek yang diawasi KPK sepenuhnya sangat tidak berdasar, TIDAK BENAR.