Dialektika Presidential Treshold (PT) belakangan kembali mengemuka, setelah sejumlah pihak kembali mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menurunkan ambang batas pencapresan dari saat ini 20 persen menjadi dihapuskan sama sekali alias 0 persen.
Ketentuan mengenai ambang batas pencapresan ini, diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan kursipaling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Nah, pasal ini lah yang digugat, harapan para penggugat jika Hakim MK mengabulkan maka ambang batas pencapresan tak ada lagi, jadi siapapun penduduk Indonesia yang memenuhi syarat-syarat administratif bisa mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden.
Sejumlah pihak yang mengajukan uji materi untuk membatalkan pasal dalam UU 7/2017 tentang Pemilu ini antara lain mantan Panglima TNI sekaligus salah satu founder ormas KAMI, Gatot Nurmantyo, Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman di Kabinet Jokowi jilid I Rizal Ramli, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah(DPD) La Nyala Mattaliti.
Gugatan ini tentu saja menjadi ramai setelah disertai dengan berbagai framing yang menyatakan bahwa PT 20 persen seperti saat ini mencederai demokrasi dan berpotensi membangun oligarki politik yang tak berkesudahan, karena kemungkinan yang muncul sebagai capres 4L alias Lu Lagi Lu Lagi.
Lebih jauh lagi, isu ini kemudian diramaikan pula oleh tingkah parpol yang menyatakan dukungannya terhadap upaya penghapusan ambang batas pencapresan tersebut.
Selain PKS yang memang sejak awal gencar menyuarakan isu PT 0 persen ini, PAN dengan alasan memunculkan  tunas-tunas baru kepemimpinan bangsa, ada Partai Demokrat yang tadinya bersuara cukup kencang mendukung keberadaan PT 20 persen, berbalik berkeinginan ambang batas pencapresan dihapuskan.
Jika diamati, sepertinya sebagian besar dari mereka yang mengajukan gugatan uji materi PT 20 persen ini adalah individu yang berambisi untuk maju sebagai capres 2024 tetapi terhalang Pasal 222 UU pemilu 2017 ini, pun demikian dengan Demokrat yang meminta pada Presiden Jokowi untuk menghapus PT melalui penerbitan Perppu seperti yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Pandjaitan.
"Saya kira berdemokrasi dan pesta demokrasi di 2024 dengan pasangan yang lebih banyak menjadi kebutuhan, harapan, keinginan semua kita. Saya kira pemerintah yang sedang berkuasa harus mendengarkan itu," ujar Hinca, seperti dilansir Kompas.com, Kamis (16/12/21) pekan lalu.
Setali tiga uang, rekan Hinca di Partai Demokrat, Benny K Harman pun mengungkapkan hal yang sama, Demokrat menolak PT 20,10,atau 5 persen maunya 0 persen.