Mengamati jalannya sidang Rizieq Shihab saya seperti sedang menonton serial drama persidangan yang ditayangkan di sejumlah siaran televisi berbayar.
Sejak awal persidangan dilakukan Rizieq dan para pengacaranya mempertontonkan drama yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya langsung dengan kasusnya yang tengah di sidangkan.
Ketika Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan persidangan Rizieq dilakukan secara daring sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2020 yang mengatur persidangan di masa pandemi Covid-19, mereka mulai memainkan drama dengan menolak menjalani sidang.
Tim pengacara Rizieq yang dipimpin oleh Munarman beradu mulut dengan Jaksa Penuntut Umum, menuntut jalannya sidang dilakukan secara tatap muka hingga dalam persidangan pertama yang dilaksanakan pada Selasa (23/03/21) mereka walk out dari persidangan karena Majelis Hakim tetap dalam pendiriannya untuk melakukan persidangan secara daring.
Dalam persidangan daring tersebut Rizieq dihadirkan melalui aplikasi Zoom dari Rutan Bareskrim Polri Jakarta Selatan tempat Rizieq selama ini ditahan.
Dalam persidangan kedua yang dilaksanakan pada Jumat (26/03/21) yang kembali  dilaksanakan secara daring, Rizieq Shihab dan para pengacaranya kembali bermain drama.
Rizieq menolak mengikuti sidang, padahal dalam KUHP jelas disebutkan bahwa persidangan iu wajib dihadiri oleh terdakwa.Â
Ia memilih berada di pojok ruangan yang tak terlihat kamera. Ketika kamera menyorotnya dan hakim bertanya atas dakwaan JPU yang sebelumnya dibacakan, Â Rizieq malah terlihat melaksanakan Shalat dan mengaji alih-alih mendengarkan dakwaan JPU dan merespon pertanyaan Hakim.
Ia dan pengacaranya tetap bersikeras menginginkan sidang secara tatap muka. Mereka beralasan, Sidang kasus Suap Djoko Tjandra yang melibatkan Irjen Pol Napoleon Bonaparte saja bisa kok tatap muka, kenapa mereka tidak.Â
"Ini diskriminasi "teriak Rizieq saat itu.
Menurut sejumlah ahli hukum sebenarnya apa yang dilakukan Rizieq dan Tim Pengacaranya dalam 2 persidangan awal mereka sudah bisa dikategorikan sebagai "Contemp of Court" atau menghina pengadilan yang bisa dijatuhi hukuman kurungan.