Urusan kritik mengkritik belakangan ramai menjadi bahan perbincangan publik, padahal memberikan dan menerima kritik menurut saya ya biasa saja toh itu merupakan keseharian manusia sebagai mahkluk sosial.
Setiap langkah kita terlepas apapun profesi dan statusnya selalu berdampingan dan sangat akrab dengan kritikan.Â
Karena pada dasarnya setiap individu berhak memberi penilaian terhadap seseorang. Mereka memiliki otoritas kritis untuk menyatakan "saya suka atau saya tidak suka" terhadap suatu hal.
Namun harus diingat yang kerap menjadi masalah itu sebenarnya bukan substansi kritiknya tapi cara menyampaikan kritik tersebut.
Sampaikanlah kritik, saran atau apapun itu dengan cara-cara yang beradab, beretika, berdasarkan fakta dan data serta memiliki argunentasi logis yang kuat.
Sebuah kritik akan menjadi sangat bias jika bermula dari kebencian, hal inilah yang biasanya berujung menjadi sebuah masalah.
Meskipun demikian, kritik tak pula menjadi tidak absah hanya karena si pelaku kritik itu tak menawarkan solusi. Karena pada dasarnya tugas kritik itu hanya menguraikan permasalahan dan menunjukan suatu kesalahan.
Jika ada pihak yang memiliki jargon "kritiklah dengan konstruktif dan solutif" yang mengharuskan seseorang yang melakukan kritik itu menawarkan solusi atas isu yang ia kritik tersebut.
Saya kira pemilik jargon yang biasanya datang dari pihak penguasa ini tak memahami esensi dari kritik, atau jangan-jangan itu cara mereka untuk menghindari kritik itu sendiri.
Meski memang benar sebuah solusi itu bisa lahir dari hasil kritik, akan tetapi bukan tugas yang melakukan kritik untuk menemukan solusi dan juga tak serta merta membuat kritikan itu menjadi tidak absah serta bisa disebut tak mendasar.
Menurut beberapa literatur yang saya baca kritik itu merupakan suatu kegiatan berpikir untuk memisahkan nilai-nilai yang tidak relevan dan nilai-nilai yang relevan dari suatu pandangan atau realitas.